Cinta dalam Tarian

Taufik Rahman • 08 April 2015 19:19
medcom.id, Jakarta: Belakangan ini kita sering mendengar istilah tari kontemporer. Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata-kata tersebut? 
 
Tarian kontemporer bukan lah tarian klasik yang ada sejak zaman nenek moyang kita, namun sebuah tarian yang mengusung kehidupan masa kini. Tari kontemporer lahir dari ketidakpuasan dalam hal ekspresi. Tarian klasik, terutama Jawa, dianggap terlalu 'halus' dan kurang ekspresif.
 
Hal ini berbeda dengan tarian kontemporer yang lebih berani dan ekspresif. "Misalnya kalau mau berekspresi hati yang sedang marah, dalam konteks tari kontemporer ekspresinya nggak cuma itu-itu saja, tapi bisa lebih ekspresif ditambah lagi kita harus mengembangkan tarian di Indonesia biar nggak statis, baik dari segi ruang maupun waktu," kata Martinus Miroto, koreografer tari kontemporer Indonesia.

Sebagi penari, Miroto terus berinovasi. Dirinya sedang mengembangkan paradigma baru dalam dunia pementasan tari kontemporer. Sebuah gebrakan tarian digabungkan dengan teknologi, yakni teleholografis. Dia berharap bisa memperkaya kesenian Nusantara.
 
Di dalam temuan baru ini, kita bisa menyaksikan pementasan tari yang menakjubkan, penggabungan dunia maya dan dunia nyata. Mereka (penari) menari di tempat yang berbeda, namun kita bisa melihatnya di satu ruangan.
 
"Saya menemukan dunia maya dan dunia nyata di atas panggung, jadi penarinya ada di mana-mana, muncul di atas panggung, tapi mereka ada di tempat yang berjauhan. Mereka bisa menari bersama dengan penari yang sedang ada di atas panggung. Sehingga ada interaksi dengan tubuh yang nyata, tapi sebenarnya itu hanya citra, hologram," terang Miroto di Galeri Indonesia Kaya (GIK), Grand Indonesia, Jakarta. 
 
Selain Miroto ada Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company yang bergiat dalam seni tari kontemporer. Kata 'karmawibhangga' terinspirasi dari relief di bagian paling dasar Candi Borobudur yang kini telah diurug untuk memperkuat pondasi.
 
"Inspirsi saya dari situ, pada saat itu Candi Borobudur adalah candi kebanggaan Kerajaan Syailendra," kata Rusdy Rukmarata, pendiri EKI Dance Company.
 
Awalnya Rusdy menginginkan Indonesia memiliki sebah dance company profesional, yaitu ada penari yang kerjanya setiap hari menari dan diberi gaji.
 
"Dulu saya punya keinginan di Indonesia punya dance company profesional, artinya benar-benar ada penari-penari yang kerjanya setiap hari cuma nari dari pagi sampai malam. Saya malu karena di Indonesia pada saat itu nggak ada sama sekali. Singapura dan Filipina punya lebih dari lima, padahal penduduknya lebih sedikit," kata Rusdy dengan nada prihatin.
 
"Kita kumpulkan beberapa donatur untuk mendirikan dance company pertama di Indonesia. Belakangan ini bahkan Sudjiwo Tedjo juga ikut mensupport, selain itu juga ada beberapa pengusaha yang juga support kita," kenangnya.
 
Jebolan EKI Dance Company salah satunya adalah Takako Leen. Penari yang disapa Tata mengaku kini sudah bisa menafkahi dirinya dari profesi sebagai penari.
 
"Dari usia tujuh tahun saya sudah menari, tapi bukan tari kontemporer ya, malah saya belajar tari Bali. Kemudian ikut EKI sejak tahun 1996, tahun pertama EKI berdiri dan di EKI saya berlatih menari 8 jam dalam sehari," aku Tata.
 
Penasaran dengan kelanjutan tentang tari kontemporer? Simak perbincangan Yovie Widianto dengan Martinus Miroto, Rusdy Rukmarata dan Takako Leen dalam IDEnesia di Metro TV pada Kamis (9/4/2015) pukul 22.30 WIB. Jangan lupa, ikuti kuis IDEnesia dan Galeri Indonesia Kaya dengan follow twitter @IDEnesiaTwit  atau @IndonesiaKaya
 
Ingat, ada bingkisan menarik bagi pemenangnya.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan