Berdasarkan pantauan Medcom.id sebanyak 41 musisi resmi menarik diri dari festival tersebut. Nama-nama besar seperti Efek Rumah Kaca, Navicula, .Feast, hingga Sukatani mengambil sikap tegas, menolak tampil di panggung yang didukung perusahaan dengan segudang catatan kontroversial tersebut, mulai dari isu lingkungan hingga pelanggaran HAM.
Padahal, dari tahun ke tahun Pestapora telah berhasil menjelma menjadi salah satu festival musik terbesar di Indonesia yang berhasil menyajikan lebih dari 230 musisi lintas genre dan generasi.
Ribuan penonton Pestapora yang tertarik untuk hadir pun bukan hanya meliputi kawasan Jabodetabek saja, tetapi juga dari berbagai kota di Indonesia bahkan hingga menarik perhatian dari mancanegara seperti negara tetangga Malaysia.
Tak heran bila keputusan massal dari para musisi memilih untuk mundur secara tiba-tiba di hari pelaksanaan festival sempat memicu kegaduhan di media sosial.
Penonton pun akhirnya terbelah menjadi dua kubu: ada yang kecewa karena idola mereka batal tampil dan menuntut promotor untuk memberikan refund tiket, serta ada pula para fans yang legowo dan tetap memberikan support atas langkah tegas yang dipilih oleh musisi kesayangan mereka.
Baca juga: Fakta Menarik MTV VMA 2025 |
Penonton Jadi Korban Utama
Dalam wawancara virtual bersama Medcom.id, pengamat musik Aldo Sianturi menilai pihak yang paling dirugikan dalam polemik ini adalah penonton."Yang paling terdampak dalam jangka pendek adalah penonton, karena ekspektasi mereka tidak sepenuhnya terpenuhi," ungkap Aldo, pada Senin, 8 September 2025.
Namun, Aldo mengingatkan bahwa dampaknya tak berhenti di situ. Menurutnya, reputasi jangka panjang festival juga ikut dipertaruhkan dalam polemik ini.
"Namun, dalam jangka panjang reputasi promotor dan keberlanjutan festival juga ikut terancam," lanjutnya.
Reputasi Sponsor, Kredibilitas Festival
Pengamat musik yang memilik rekam jejak di Universal Music Indonesia dan Demajors ini menilai fenomena boikot massal dari sejumlah musisi ini menunjukkan bahwa reputasi sponsor kini punya bobot yang sama besar dengan kualitas dari nama festival itu sendiri.
"Keputusan mundur adalah sinyal bahwa reputasi sponsor dapat langsung memengaruhi kredibilitas sebuah festival," tegas Aldo.
Dari perspektif bisnis, Aldo menyebut kasus ini sebagai bentuk brand misalignment.
"Dari perspektif bisnis, ini adalah bentuk 'brand misalignment', ketika nilai yang dibawa sponsor tidak sejalan dengan nilai komunitas kreatif yang terlibat. Fenomena ini menunjukkan bahwa musisi tidak hanya dipandang sebagai pengisi acara, melainkan aktor sosial dengan posisi moral," lanjutnya.
Baca juga: Selamatkan Kucing Uya Kuya dari Penjarahan, Sherina Munaf Dipanggil Polisi |
Kelalaian Promotor atau Lemahnya Analisis Risiko?
Lebih jauh, Aldo juga menyoroti bahwa kegaduhan ini bisa jadi berawal dari lemahnya mekanisme analisis risiko dari pihak promotor Pestapora yang dipandu oleh Kiki Aulia Ucup sebagai Direktur Festival Pestapora.
"Saya melihatnya sebagai gap dalam analisis risiko reputasi. Promotor mungkin terlalu fokus pada kebutuhan finansial jangka pendek, sehingga tidak melakukan stakeholder mapping yang mendalam. Saya tidak ingin menyebut kelalaian atau kesengajaan, tetapi jelas ada kurangnya mekanisme due diligence untuk mengukur sensitivitas publik terhadap profil sponsor," jelasnya.
Sebagai penutup, Aldo Sianturi pun memberikan catatan pesan penting yang membangun untuk para promotor acara musik dan musisi Tanah Air agar polemik serupa dapat diantisipasi di kemudian hari.
"Untuk promotor: lakukan stakeholder due diligence sejak awal, bukan hanya pada aspek teknis tapi juga nilai yang terkandung dalam profil sponsor," pesan Aldo.
"Untuk musisi: pahami bahwa keputusan tampil atau tidak tampil selalu membawa konsekuensi reputasi. Dan yang terpenting, kedua pihak perlu melihat musik bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai ekosistem yang punya daya tawar moral sekaligus bisnis. Sinergi itu yang harus dikelola agar insiden seperti ini tidak terulang," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News