"Kita butuh lebih banyak lagi orang yang bisa bercerita, terutama lewat film, karena bercerita itu adalah kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh seorang pembuat film. Apapun pekerjaannya," kata Dennis kepada Medcom.id beberapa waktu lalu.
"(Selain itu) butuh lebih banyak produser karena seorang produser itu sebenarnya seperti seorang project manager. Dia harus bisa mengendalikan sisi teknis, sisi bisnis, maupun sisi art juga dan kita butuh lebih banyak lagi," imbuhnya.
Dennis bukan satu-satunya sineas yang mengeluhkan hal itu. Sutradara sekaligus penulis naskah Salman Aristo juga mengemukakan pendapat yang sama.
"Luar biasa sekali kenaikannya (akan kebutuhan sineas berkualitas), karena itu, menimbulkan triple effect yang lain bahwa kebutuhan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) tinggi sekali. Di sisi lain juga kualitas pekerja yang high profile juga tinggi sekali, jadi problem-nya bertumpuk," kata penulis naskah yang baru saja mengerjakan proyek film Do(s)a kepada Medcom.id di Jakarta, belum lama ini.
Dari sisi pemerintah, Badan Ekonomi Kreatif (BEKraf) tengah membuka wadah baru bagi para sineas untuk berkolaborasi dengan para investor. Namun, belum ada suatu gerakan untuk memberikan ruang bagi calon pekerja industri film untuk berkembang dan mengembangkan potensi serta bakat yang ada. Salah satu sebabnya, masih sangat minim sekolah film di Indonesia. Sementara itu dari Pusbangfilm sendiri perlahan mulai mencanangkan beberapa kurikulum perfilman di sekolah kejuruan guna membantu ekosistem industri perfilman yang sedang berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News