Bedah Film Pangku bersama Menteri HAM, Natalius Pigai (Foto: Medcom/Basuki)
Bedah Film Pangku bersama Menteri HAM, Natalius Pigai (Foto: Medcom/Basuki)

Reza Rahadian: Film Pangku Bukan Eksploitasi Kemiskinan

Basuki Rachmat • 04 Desember 2025 22:40
Jakarta: Menyambut peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada 10 Desember 2025, Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham RI) bekerja sama dengan Eagle Institute Indonesia (EII) dan ID.M menggelar penayangan sekaligus bedah film Pangku di Djakarta Theatre XXI, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Desember 2025. 
 
Film debut aktor Reza Rahadian sebagai sutradara ini mendapat perhatian karena menyoroti isu kemiskinan dan eksploitasi perempuan, dua persoalan mendasar dalam ranah HAM.
 
Acara ini menjadi ruang diskusi untuk menilai sejauh mana film mampu menghadirkan narasi yang kuat sekaligus menjadi medium advokasi bagi isu kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian publik.

Menteri HAM, Natalius Pigai, menyebut Pangku berhasil memotret kehidupan masyarakat kelas bawah yang terperangkap oleh kemiskinan struktural maupun non-struktural.
 
"Ini salah satu film yang menggambarkan kehidupan nyata masyarakat. Masyarakat kelas bawah itu ditimbulkan oleh faktor kemiskinan struktural dan faktor kemiskinan non-struktural, karena letak geografisnya. Penduduknya banyak, tapi secara alamiah tidak memungkinkan itu bisa dibangun," ujar Natalius Pigai.
 
Faktor inilah yang menurut Pigai membuat orang yang disebutnya sebagai "kepepet", rela menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidup mereka.
Contohnya Sartika, karakter utama perempuan dalam film Pangku, yang terjebak secara tidak sadar terjebak dalam kasus trafficking. Karena kesulitan mencari pekerjaan dengan upah yang layak, membuat Sartika memutuskan untuk berjualan kopi sambil menjajakan kemolekan tubuhnya kepada pria, yang istilahnya dikenal sebagai "Kopi Pangku". Hal ini sendiri dilakukan olehnya untuk bertahan hidup dan membiayai putranya yang lahir di luar dari pernikahan.
 
"Kemiskinan struktural itu disebabkan kurangnya struktur negara pemerintah. Ini membuat lapangan kerja terbatas dan orang hidup dalam kepepet. Itu disebabkan karena sentuhan negara yang terbatas. Kelalaian negara tidak menyentuh masyarakat itu," tuturnya.
 
Ia pun menekankan peran kekuatan film sebagai medium advokasi untuk membenamkan kejahatan sosial dan pelanggaran HAM.
 
"Film itu lebih kuat dari bom, lebih kuat dari meriam, dan lebih kuat dari nuklir. Film ini adalah salah satu alat membangun mainstreaming kapasitas di Indonesia untuk kita sama-sama membungkan dan membenamkan kejahatan sosial dan hak asasi manusia," tegas Pigai.

Film Pangku Bukan Eksploitasi Kemiskinan

Sementara itu, sutradara Pangku, Reza Rahadian, menegaskan bahwa filmnya tidak dibuat untuk mengeksploitasi kemiskinan atau menjadi poverty porn.
 
"Kami sebagai filmmaker, saya, produser dan penulis skenario bukan lagi ingin membuat sebuah film untuk menjadi poverty porn, itu bukan tujuan kami. Karena kadang-kadang juga ada tuh tendensi untuk melihat sebuah kemiskinan menjadi eksploitatif. Akhirnya kemiskinannya yang di eksploit demi adegan-adegan yang berdarah-darah, penuh tangis dan segala macam," ujar Reza Rahadian.
 
"Saya nggak mau approach itu pada film Pangku. Jadi, film ini bukan soal kemiskinan, tapi tentang bagaimana manusia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup," lanjutnya.
 
Sutradara berusia 38 tahun itu juga menekankan bahwa film Pangku lebih menyoroti bagaimana manusia berusaha bertahan hidup di tengah keterbatasan, bukan sekadar memotret kemiskinan.
 
"Film ini bukan bicara soal siapa yang salah atau siapa yang benar. It's a betrayal of life. Film Pangku adalah sebuah refleksi dari realitas. Sehingga, buat saya itu menjadi penting kenapa film ini dibuat," ujarnya.
Reza Rahadian pun berharap film Pangku dapat menjadi penghormatan bagi perempuan, khususnya ibu-ibu yang setiap hari berjuang untuk keluarga, meski hidup mereka kadang sulit untuk dimengerti oleh orang lain.
 
"Mudah-mudahan film ini bisa menjadi surat cinta yang indah bagi ibu-ibu di luar sana yang tetap berjibaku harus bekerja, bagi perempuan-perempuan yang hidup dalam suasana kebatinan yang tidak selalu bisa dimengerti oleh orang lain," tutup Reza Rahadian.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan