Sejak 27 Desember 2022, Nano dirawat di RS Kanker Dharmais, Jakarta. Setelah sempat dioperasi tumor bagian paha, diketahui ada cairan yang menyebar di bagian paru-paru. Hampir tiga pekan dirawat, pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk menjalani rawat jalan sejak awal pekan ini.
Putra sulung Nano, Rangga Riantiarno, menuturkan bahwa sebelum meninggal, Ayahnya masih berkarya dan sedang menggarap sebuah naskah teater. Naskah itu berhasil memenangkan Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2022.
"Baru banget menang sayembara naskah teater DKJ yang judulnya 'Matahari dari Papua'," ungkap Rangga.
Rangga menuturkan bahwa naskah itu akan dipentaskan pada akhir tahun ini. "Rencananya seperti itu, kami akan pentaskan November tahun ini."
Norbertus Riantiarno pernah mengenyam pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta dan bergabung dengan Teguh Karya serta Teater Populer. Pada 1 Maret 1977, aktor sekaligus penulis naskah kelahiran Cirebon itu resmi mendirikan Teater Koma.
Di Indonesia, Teater Koma dikenal sebagai salah satu kelompok teater tertua dan paling produktif yang aktif berkarya. Setiap tahunnya, ada dua produksi yang dipentaskan.
Sejak dekade 1970-an, Nano berkeliling Indonesia dan mancanegara untuk belajar mengenai teater. Ia pernah berkunjung ke negara Skandinavia, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman, dan Cina.
Sejumlah penghargaan juga sukses diraih Nano. Salah satu karyanya, Sampek Engtay (2004), masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama.
Selamat jalan, Maestro Teater Indonesia.
(Nicholas Timothy Suteja)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News