medcom.id, Jakarta: Ada ungkapan lama yang mungkin masih sering terdengar dalam obrolan-obrolan mengenai film Indonesia, yaitu soal kelatahan. Jika suatu film sukses secara komersial, diduga kuat film-film serupa akan menyusul, entah mirip dalam hal genre atau aliran, formula, atau topik cerita.
Anggapan semacam ini mudah dikaitkan dengan film horor erotis, yang jumlahnya sempat meningkat beberapa tahun lalu. Setelah film sejenis tak lagi jadi tren, anggapan soal 'latah genre' kadang dilekatkan ke sejumlah aliran film lain yang terkesan sering dibuat, seperti komedi atau drama islami. Padahal, aliran utama film memang tak banyak.
Fadjar Hutomo, Kepala Deputi Akses Permodalan Bekraf, punya penilaian dari sisi bisnis terkait hal ini. Bisnis film di Indonesia, layaknya digital startup, menjual produk tak berwujud fisik atau intangible. Industrinya belum terstruktur sehingga kebanyakan investor masih ragu untuk menanamkan modal di produksi film.
"Film dengan jumlah penonton di atas sejuta mulai banyak. Itu membuat orang yang punya duit ingin bikin film, tapi dari sisi: Kayaknya bisa untung gede," kata Fadjar dalam jumpa pers Akatara di Jakarta, Senin 18 September 2017.
"Saya amati juga, ketika (industri film) masih belum berstruktur, kalau filmnya tentang kuntilanak, (diikuti film) kuntilanak semua. Karena yang punya duit juga berpikir bahwa film ini laku. Ya sudah, investor ikut (selera) penonton (kebanyakan) saja."
Banyak pebisnis menghubungi Fadjar dan bilang ingin membuat film, tetapi tidak tahu cara dan skema bisnisnya. Di sisi lain, formula untuk membuat film yang untung secara komersial juga masih jadi misteri bagi pelaku industri.
"Bikin film bagus ada sekolahnya, tapi bikin film laris itu enggak ada. Makin ke sini saya amati banyak pebisnis film kita mulai menemukan formula bikin film (laris)," ungkap Fadjar.
Menurut Fadjar, minat investor untuk masuk industri film hari ini semakin besar. Salah satunya terlihat dari sejumlah proposal yang datang dari venture capital (VC), yang ingin mengatur pendanaan VC untuk produksi film. VC lebih populer dalam bisnis rintisan aplikasi digital.
VC, secara sederhana, adalah jenis permodalan yang melibatkan sejumlah investor sekaligus. Setiap investor menanam dana, yang lalu dikumpulkan dan dikelola oleh pakar finansial untuk menjadi modal proyek tertentu.
"Saya melihat mereka sudah melirik film untuk jadi portfolio," ujar Fadjar.
Fadjar menyebut bahwa pendanaan VC bisa menjadi salah satu solusi untuk menghidupkan iklim industri film di Indonesia. Secara teoritis, keluhan soal 'film bagus tapi minim dana' dapat diatasi. Calon investor dinilai lebih berminat menanam modal sebagian dibanding keseluruhan.
Misalnya, ada lima proyek film yang punya anggaran Rp 1 miliar per proyek. Pebisnis dengan dana sama akan berjudi jika memberikan seluruh dana ke salah satu proyek. Dengan sistem VC, dia dapat menanam Rp200 juta ke tiap proyek. Investor lain juga terlibat.
"Dari sudut pandang investor, resikonya terbagi. Mereka bisa belajar film yang laris mana. Dari 10 film yang didanai, jika ada dua film untung, masih aman. Jadi tidak ngeri banget," terang Fadjar.
Akatara, forum pendanaan film fiksi yang diadakan Bekraf, hendak diarahkan ke iklim pendanaan VC. Rencananya, forum ini akan menjadi agenda tahunan untuk mempertemukan proyek film dengan calon investor potensial.
Baca juga: Bekraf Siap Gelar Forum Pendanaan Film Nasional
Tahun ini, akan ada 40 proyek film yang dipamerkan. 10 proyek merupakan film berbasis tempat wisata, dua adalah proyek film yang mewakili Indonesia di TorinoFilmLab 2017, dan 28 proyek lain merupakan submisi.
Sepuluh Proyek Film akan Syuting di 10 Destinasi Wisata
"Buat kami, ini momen penting untuk menggerakan iklim sumber permodalan ke sana, sehingga nanti idealnya, film Indonesia jadi makin bervervariasi dan judulnya beragam," ungkap Fadjar.
"Teorinya, industri film akan hidup."
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id