Permasalahan tidak berhenti hanya di situ. Upaya mengembangkan bisnis bioskop terbentur regulasi yang ada. Sektor industri film selama ini terproteksi oleh Daftar Negatif Investasi (DNI). Segala investasi asing untuk bidang produksi, distribusi dan exhibition (bioskop) dilarang oleh pemerintah. Hasilnya seperti yang terjadi selama ini, bisnis bioskop hanya dikuasai segelintir pengusaha dan cenderung stagnan.
"Bagi saya DNI harus dibuka dari dulu tiga tahun lalu. Layar sekarang hanya 1.117 layar termasuk 21, Cinemaxx, Blitz. Kita perlu membuka 3.000 layar lagi, kita happy dengan hanya 1,5 juta penonton apa artinya?" keluh Manoj Punjabi, pendiri MD Entertainment, dalam jumpa pers di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Pembukaan DNI adalah satu-satunya jalan untuk mengembangkan layar bioskop di Indonesia. Dengan area yang luas dan terbagi dalam ratusan kota di pulau yang terpencar, butuh modal besar untuk membangun fasilitas bioskop yang menjangkau kota kecil.
Dibukanya DNI berarti terbukanya kesempatan bagi para investor asing untuk menanamkan modal di sektor perfilman. Dampaknya bukan hanya perkembangan bioskop, tetapi juga di sektor produksi dan distribusi film.
Sheila Timothy, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia menjelaskan bahwa dengan jumlah layar yang terbatas. Para sineas lokal harus bersaing dengan film Hollywood dengan kuota yang tidak imbang.
“Kita bertarung (mendapatkan layar) hanya di (kuota) 20 persen,” kata Sheila.
20% kuota film Indonesia yang diakomodasi oleh pihak bioskop disebut “membunuh” film lokal itu sendiri. Sebab banyak film yang akhirnya tidak bisa mendapat kesempatan tayang.
“Kalau industri perfilman ini diproduksi sampai 90 film judul per tahun, 70 filmnya mati karena bioskop dikit. Dulu ketika bioskop masih 3000-an layar ketika film gagal di bioskop kelas A bisa turun ke bioskop kelas B lalu kalau tidak laku turun ke kelas C sampai ke layar tancap. Sekarang ini lebih gila lagi, 80 persen layar dikuasai pengusaha layar dan importir yang sama. Kalau tidak dibenahi, lima tahun mendatang film Indonesia tinggal 20 judul (per tahun),” ujar Firman Bintang, Ketua Persatuan Produser Film Indonesia.
Aktor senior Roy Marten yang juga hadir dalam jumpa pers pernyataan sikap para insan perfilman terhadap pembukaan DNI menceritakan bahwa pada saat ini terjadi kemunduran dalam sistem perputaran film di bioskop, dibanding zaman keemasan Roy Marten dulu.
“Zaman saya ada 2.600 bioskop. Saat ini ketika jumlah penduduk kita meledak layar hanya dimiliki beberapa orang saja. Semua (insan perfilman) harus bersatu, berharap pada rezim suara rakyat. Kita enggak perlu takut pada modal asing. Selama ini kita juga sudah dikuasai, kalau kita kuat, enggak akan terganggu,” tegas Roy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News