Corsec XXI, Catherine Keng dan Direktur XXI, Tri Rudy Anito (Foto: Metrotvnews.com/Putu)
Corsec XXI, Catherine Keng dan Direktur XXI, Tri Rudy Anito (Foto: Metrotvnews.com/Putu)

XXI: Aturan 60 Persen Wajib Tayangkan Film Nasional Tidak Perlu

Putu Radar Bahurekso • 19 Februari 2016 01:23
medcom.id, Jakarta: Pemerintah mencabut industri bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI) yang artinya membolehkan investasi asing masuk ke Indonesia. Namun, pemerintah juga meminta kepada bioskop untuk menayangkan 60 persen film nasional.
 
Aturan pemerintah itu sudah diatur dalam UU No.33 tahun 2009. Setelah direvisinya DNI sektor perfilman, jaringan bioskop XXI menganggap aturan itu tidak perlu lagi.
 
"Kalau menurut kami pribadi sih, rasanya aturan waktu tayang 60% tidak diperlukan. Karena market share akan tumbuh berdasarkan minat penonton bukan dari regulasi,” ujar Tri Rudy Anito, Direktur dari jaringan bioskop 21, saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (18/02/2016).

Menurut Tri Rudy Anito, aturan itu tidak perlu karena pasar film yang elastis. Menonton film bukanlah kebutuhan pokok, melainkan kebutuhan tersier.
 
"Kalau untuk kebutuhan premier bolehlah ada regulasinya. Film kan pasarnya elastis. Tergantung minat menonton dan selera film. Lagian menonton film di bioskop itu bukan kebutuhan premier. Tapi kebutuhan tersier. Malah bisa juga kebutuhan quartier," jelas Tri Rudy Anito.
 
Hal itu bisa terlihat dari perbandingan market share penonton film Indonesia pada 2008 hingga 2011. Menurut data dari bioskop 21, pada 2008 terdapat 81 film Indonesia yang tayang.
 
Hanya ada 36 film yang mendapat jumlah penonton di atas 300 ribu. Termasuk Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta yang menembus jumlah tiga juta penonton.
 
Sedangkan pada tahun 2011, saat banyak film impor dilarang tayang di bioskop Indonesia, terdapat 80 jumlah film Indonesia yang tayang. Namun, hanya 16 film yang mendapat penonton di atas 300 ribu. Bahkan, terdapat lima film yang jumlah penontonnya di bawah 10 ribu.
 
"Perbandingan penonton untuk film Indonesia pada tahun 2008 dan 2011 itu contohnya bahwa jumlah menonton film Indonesia tidak bisa diatur regulasi. Tapi dari minat menonton," ucap Tri Rudy.
 
"Maka dari itu dengan dibukanya sektor film di DNI ini juga kita berharap regulasi mengenai waktu tayang ini juga dipertimbangkan ulang," pungkas Tri Rudy.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan