Jumpa pers insan perfilman mendukung perfilman dihapus dari DNI (Foto: APROFI)
Jumpa pers insan perfilman mendukung perfilman dihapus dari DNI (Foto: APROFI)

Tanggapan Para Sineas terhadap Investasi Asing Industri Film

Agustinus Shindu Alpito • 10 Februari 2016 15:27
medcom.id, Jakarta: Pada akhir bulan lalu, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf memastikan Daftar Negatif Investasi (DNI) di bidang perfilman telah disepakati oleh pemerintah untuk dibuka.
 
Artinya, investor asing kini bisa menanamkan modal di bidang industri perfilman yang terbagi dalam tiga sektor, yaitu produksi, distribusi, dan exhibition atau bioskop.
 
Bagi para sineas, dibukanya DNI ini adalah angin segar. Selama ini, para sineas lokal terbilang sulit mencari dana dalam membuat film. Hasilnya, produksi film lokal terhitung sedikit.

"Industri film belum direformasi sejak dulu, ada yang diproteksi tapi kita enggak tahu apa yang diproteksi. Investasi asing tidak boleh masuk, implikasinya produksi film rendah. Dengan adanya investor asing dibuka, orang (investor luar negeri) bisa investasi di film dan bioskop," kata sutradara Joko Anwar saat ditemui Metrotvnews.com di Plaza Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Joko menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir masuknya modal asing di industri perfilman akan menghambat pertumbuhan perkembangan film lokal. Sebab, selama ini film-film karya sutradara yang mengangkat budaya Indonesia sebenarnya juga mendapat suntikan dana dari luar negeri.
 
"Siapa yang selama ini mendorong film berbudaya? Orang luar. Film Garin Nugroho (yang dikenal mengangkat budaya), misalnya. Itu yang mendanai orang Italia, orang Belanda," lanjut Joko.
 
Pendapat serupa juga dilontarkan sutradara kawakan Garin Nugroho. Garin selama ini dikenal mengangkat sinema Indonesia di pentas internasional. Sutradara yang baru saja merilis film drama-romantis Aach.. Aku Jatuh Cinta itu mengakui bahwa liberalisasi adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.
 
"Investasi asing tidak masalah, tetapi perlindungan lokal itu harus. Global sejahtera, lokal sejahtera. Itu harus jadi rumusan politik pemerintah kita. Dalam seluruh aspek," ujar Garin.
 
Demikian juga sutradara Surat dari Praha, Angga Dwimas Sasongko. Dia berpendapat bahwa masuknya investasi asing jangan dipandang sebagai ancaman budaya. Masyarakat dan pelaku perfilman harus cerdas membedakan persoalan ekonomi dan budaya.
 
"Industri (perfilman) ini sudah stagnan. Kita butuh berkembang. Dengan dicabutnya DNI, ini opportunity yang bagus. Kita enggak bisa lihat ini dengan dicampur-campur. Ini soal ekonomi. Soal budaya, lain lagi. Saya enggak masalah dengan kuantitas, yang penting peningkatan kualitas," jelas Angga.
 
"(Peluang investasi asing di industri bioskop) Positif untuk kita, punya opportunity mengembangkan film Indonesia. Kita belum punya banyak layar. Keterbatasan dana mengganggu perkembangan industri film. Dengan keterlibatan dana dari luar, kita bisa grow (berkembang),” lanjut pria yang mendirikan rumah produksi Visinema Pictures itu.
 
Dari data yang dirilis FilmIndonesia.or.id, sejak 2008 hingga 2015, film yang paling banyak ditonton adalah film Laskar Pelangi dengan jumlah penonton 4,6 juta. Angka 4,6 juta penonton tentu belum ada apa-apanya dibandingkan jumlah populasi penduduk Indonesia yang lebih dari 249 juta jiwa (data sensus 2013).
 
Angka penonton yang rendah dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama soal keterjangkauan bioskop. Sebagai negara kepulauan dengan latar demografi yang luas, jumlah bioskop saat ini tak bisa menjangkau semua kalangan dan semua daerah. Dengan adanya investasi asing di bidang exhibition, bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia di daerah bisa menikmati film Indonesia.  
 
"Kebijakan pendukung harus ada. Kalau (investor asing) mau buka bioskop (harus) di tempat yang belum ada bioskop. Memberi kesempatan bioskop perintis juga untuk maju,” kata Joko Anwar.
 
Masih berdasarkan data FilmIndonesia.or.id, pada 2015, setidaknya tercatat produksi film panjang sebanyak 119 film. Angka tersebut bukan tak mungkin akan meningkat jika ketersediaan bioskop mencakup daerah yang luas. Juga ketersediaan modal produksi yang terjamin.
 
"Budaya bikin film sekarang masih sedikit. Hasilnya, film-film yang busuk-busuk itu. Dengan adanya player baru mereka bisa bersaing,” ungkap Joko.
 
Garin berpendapat, masifnya jumlah penonton bisa dirangsang dengan membentuk karakter bioskop dan film Indonesia. Sehingga film lokal tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
 
"Bioskop Indonesia (harus) ada karakter pribadi. Kita ingin membentuk penonton. Selain mengikuti perkembangan, kita juga harus mengikuti penonton. Ibaratnya McDonald's enggak perlu bikin gudeg. Perkara mereka bikin rasa sate, itu pelan-pelan. Bangsa beradab itu membentuk selera. Bukan mengikuti selera," kata Garin.
 
Soal proteksi film lokal, Triawan mengatakan, akan lebih relevan jika dilakukan dengan sistem kuota, dengan kuantitas yang menyesuaikan jumlah rata-rata produksi film lokal per tahun.
 
Hal itu dilakukan agar bioskop tidak bangkrut karena terlalu memaksakan diri menayangkan film lokal.
 
"Di UUD 33 tahun 2009 sudah ada regulasi 60 persen dalam enam bulan setiap tahunnya untuk film nasional, tapi kita belum punya itu (kuantitas film nasional yang tinggi). Kalau dipaksakan, bioskop akan sepi. Kita tidak ingin terapkan itu, tapi kita punya aturan itu. Kita akan bekerja sama dengan semua pihak untuk mengeluarkan aturan. Misal, mulai dari 10 persen dulu (kuota wajib film nasional). Lalu, 20 persen dulu, kemudian jadi meningkat. Kalau terlalu ambisius, malah bioskop sepi,” jelas Triawan.
 
Proteksi lokal lewat regulasi yang jelas dan relevan memang jadi kunci menghadapi reformasi industri perfilman lokal. Dengan potensi penonton yang sangat tinggi, tentu para pengusaha tergiur menggali rupiah lewat industri sinema di Indonesia.
 
"Kesejahteraan global harus menyejahterakan lokal. Apakah kita sudah punya strategi lokal? Contoh, Filipina. Pada Natal dan hari besar, film di bioskop diisi film-film lokal. Apa kita punya strategi lokal? Kalau tidak, kita hanya konsumtif," tukas Garin.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan