Liberalisasi dalam sektor industri apa pun akan memicu polemik. Begitu juga di industri perfilman. Ada yang memberikan dukungan. Ada juga yang menolak.
Beda Sikap Dua Rezim
Wacana pencabutan bioskop dari DNI sebenarnya sudah beberapa tahun lalu berhembus. Pada 2012, pencabutan bioskop dari DNI justru mendapat penolakan dari pemerintah. Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya (Ekraf BSB) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara.
Menurut pria yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jendral Kementerian Pariwisata itu, kualitas film nasional rendah karena minimnya riset sehingga tidak menghasilkan cerita yang kuat.
"Sebab sekali bisnis ini dibuka bagi investor asing, maka kita akan sulit untuk menutupnya kembali. Pemerintah mengajak semua pihak untuk melihat kondisi film nasional dari berbagai sisi. Mulai dari sisi produksi, promosi, dan distribusi, hingga bioskop. Dari sisi produksi, misalnya. Kemenparekraf berupaya mendorong peranan riset dalam produksi film nasional. Karena banyak film nasional yang diproduksi tidak berdasarkan riset sehingga tidak heran jika film-film tersebut sepi penonton," jelas Ukus Kuswara, kala itu.
Sikap itu mendapat dukungan dari sejumlah anggota DPR. Menurut mereka, kehadiran bioskop asing dikhawatirkan akan membuat bioskop Indonesia mati.
"Yang akan hancur bukan hanya karakter budaya bangsa. Melainkan para pelaku industri film nasional. Sekarang saja, dengan serbuan K-pop, banyak gaya rambut remaja-remaja kita yang meniru artis-artis Korea," kata Dedi Gumelar alias Miing yang kala itu masih menjadi anggota DPR.

Saat itu, wacana pencabutan bioskop dari DNI memang diikuti dengan isu akan masuknya dua perusahaan asal Korea Selatan yang bersiap membangun jaringan bioskop di Indonesia. Namun, salah satu perusahaan akhirnya memilih membeli salah satu jaringan bioskop yang sudah ada di Indonesia. Cara ini tentu lebih aman dan hemat ketimbang harus membangun jaringan bioskop baru.
Jika pada rezim sebelumnya, para pejabat yang membawahi dunia perfilman cenderung menolak, di era Jokowi justru sebaliknya. Industri kreatif tidak lagi berada di bawah Kementerian Pariwisata dengan dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif yang diketuai Triawan Munaf.
Badan yang dipimpin mantan personel Giant Step itu menyambut positif rencana Jokowi membuka keran investasi asing. Termasuk di industri perfilman sektor eksibisi, distribusi, produksi, dan teknik.
Kami Tidak Takut
Puluhan insan perfilman berkumpul di Gedung PPHUI, Kuningan, Jakarta, belum lama ini. Ada sutradara Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Angga Dwimas Sasongko. Lalu ada juga produser seperti Sheila Timothy, Manoj Punjabi hingga Firman Bintang.
Sikap mereka bulat. Mendukung revisi DNI perfilman sehingga pemodal asing diperbolehkan masuk Indonesia. Dukungan sebelumnya juga dilontarkan sineas lain seperti Garin Nugroho.
"Sebagai pelaku industri film, kami melihat revisi ini sebagai sebuah peluang besar untuk memajukan industri perfilman nasional. Revisi DNI dalam bidang usaha film bukan hanya akan memberikan akses permodalan dan penambahan layar, tetapi juga peningkatan standar dan kapasitas kompetensi pekerja film kreatif Tanah Air," tulis pernyataan sikap para pendukung revisi DNI.
Sejumlah pekerja film yang tergabung di Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), Indonesian Film Directors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesia Motion Picture and Audio Association (IMPAct), Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Indonesian Production Designer (IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI), menyatakan dukungan.

Insan perfilman berkumpul (Foto: APROFI)
Hanya satu yang menolak, yaitu APFI (Asosiasi Perusahaan Film Indonesia).
APFI merupakan sebuah organisasi baru yang dideklarasikan pada Oktober 2015. Organisasi ini diisi oleh produser dari rumah produksi besar di Indonesia. Mereka antara lain, Chand Parwez Servia (Starvision), Ody Mulya Hidayat (Maxima Pictures), Erick Tohir (Mahaka Pictures), HB Naveen (Falcon Pictures), Ram Soraya (Soraya Intercine Film), Gope Samtani (Rapi Films) dan Putut Widjanarko (Mizan Pictures). Bahkan, Triawan Munaf sendiri hadir mendukung kegiatan APFI.
Para pendukung revisi DNI sepertinya tak mau larut dalam euforia liberalisasi yang berlebihan. Karena itu, mereka tetap meminta pemerintah memberikan proteksi terhadap industri film nasional dengan menyiapkan kebijakan-kebijakan pendukung. Hal itu dilakukan agar pembukaan DNI efektif dan memberikan jaring pengaman bagi pengusaha lokal.
"Mendesak pemerintah dalam hal ini Mendikbud untuk segera menetapkan tata edar film sesuai amanat Pasal (29) UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dan membuat integrated box office system yang berlaku untuk film asing dan film nasional yang dapat diakses datanya secara harian berisikan data penonton, jumlah layar yang didapat, dan jumlah jam tayang yang diterima setiap film," demikian pernyataan para pendukung revisi DNI.
Mereka juga meminta Pasal 32 UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman benar-benar dijalankan. Pasal tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.

(Sheila Timothy, Angga Sasongko, Joko Anwar. Foto: APROFI)
Salah satu konsekuensi jika DNI bioskop dicabut tentu bertambahnya layar bioskop. Jumlah layar bioskop di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah penduduk Tanah Air. Apalagi, keberadaan bioskop di luar Pulau Jawa masih terbilang minim kalau tidak mau disebut memprihatinkan.
Namun, anggapan itu ditepis Ody Mulya Hidayat, dari APFI. Menurut Ody, jumlah layar bioskop di Indonesia tidak kekurangan seperti yang dilontarkan pihak yang mendukung direvisinya DNI. Penambahan layar juga dianggapnya bukan solusi meningkatnya penonton film lokal.
"Dengan layar sekarang saja, film nasional kita sepi penonton. Apalagi mau ditambah berapa banyak lagi. Ditambah dengan perusahaan asing. Otomatis mereka, perusahaan asing itu akan mengutamakan film-film asing. Makin sedikit saja penonton film kita. Ya okelah investor asing memberi tempat juga kepada film kita, tapi mau sampai kapan? Cobalah teman-teman pikir ke situ," kata Ody saat berbincang dengan Metrotvnews.com.
"Layarnya banyak, tapi kualitas filmnya jelek juga buat apa? Tidak akan menghasilkan apa-apa," lanjutnya.
Ody menegaskan, sikap APFI tetap tidak berubah. Menolak investasi asing di industri perfilman. Namun, penolakan APFI bukan karena takut bersaing dengan industri asing atau merasa bisnis mereka terancam.
"Kami tidak takut bersaing. Sama sekali tidak takut. Siapa pula yang merasa bisnisnya terancam. Sikap kami ini murni untuk perlindungan film nasional. Saya yakin, kalau perusahaan film asing itu dikasih masuk, akan sulit lagi kita menahan arus mereka," ujarnya.
Pemerintah, kata Ody, seharusnya mengkaji lebih dalam sebelum mengizinkan investasi asing masuk ke Indonesia. Jika melihat wacana pencabutan DNI sektor bioskop sudah muncul pada 2012, argumen Ody sebenarnya mudah dipatahkan.
"Kita tidak pernah sama sekali duduk bareng, dan didengar pendapatnya. Tahu-tahu sudah ada rencana masuknya investasi asing ini. Saya justru bertanya-tanya kenapa ada pihak yang ngotot sekali, ingin cepat-cepat membuka investasi asing masuk ke Indonesia. Jangan-jangan memang ada unsur bisnisnya kuat sekali ini," ucapnya menduga.
"Itu baru dari segi bisnis. Dari segi budaya ini akan menghancurkan budaya kita. Penjajahan budaya asing. Sekarang saja anak-anak muda kita sudah terpengaruh budaya asing. Apalagi nanti kalau perusahaan asing bisa masuk sebebasnya dan mempengaruhi mereka. Ini juga harus kita antisipasi," jelas ody.
Selubung nasionalisme dan penolakan terhadap infiltrasi budaya asing memang kerap disampaikan para penolak investasi asing di sektor perfilman. Bagi Joko Anwar, sikap xenophobia semacam itu sesuatu yang berlebihan.
"Ada yang bilang, bahaya budaya asing. Ini parno enggak jelas sih. Karena repot banget asing bangun bioskop di sini cuma mau masukin budayanya," tulis sutradara, Joko Anwar di akun Twitter-nya.
Selain aktif bicara di media, Joko cukup gencar menuliskan kicauan bersambung (kultwit) mengenai investasi asing di Indonesia di bidang perfilman. Bagi sutradara film A Copy of My Mind ini, kehadiran investasi asing akan meningkatkan kualitas film di Tanah Air.

Joko Anwar (Foto: MI/Susanto)
"Masuknya investasi asing akan menambah jumlah pemain industri. Akan lebih banyak film diproduksi dengan tema lebih beragam,” tulis Joko.
Namun, bagi Ody yang menolak revisi DNI, anggapan itu terlalu mengada-ada dan sulit diterima akal sehat. Menurut Ody, saat ini kualitas perfilman Indonesia sudah meningkat baik dibanding sebelumnya. Masalah utama minimnya penonton hanya kurang efektifnya promosi dari rumah produksi.
"Bagi saya, itu tidak logis. Sekarang saja kualitas film kita sudah bagus dan mengalami kemajuan. Terbukti banyak yang tampil di festival luar negeri seperti beberapa film. Ini bisa terjadi tanpa investasi asing. Jadi buat apa lagi ada investasi asing," tukas Ody.
Ody lantas menyebut tidak ada jaminan masuknya investor asing benar-benar mengubah tatanan perfilman Indonesia. Apalagi, tidak ada contoh keberhasilan negara yang pernah menerapkan kebijakan serupa. Kalau pun diterapkan di Indonesia, belum tentu berhasil.
Namun, Joko Anwar mencoba mematahkan ketakutan Ody ini. Tak perlu jauh-jauh. Joko mencontohkan kebijakan Vietnam yang produksi filmnya meningkat dua kali lipat setelah membuka investasi asing sejak 2011.
"Tiongkok buka investasi asing 10 tahun lalu. Produksi naik 40 persen sejumlah USD4,8 miliar. Jadi pasar film terbesar kedua setelah Amerika Serikat," lanjut Joko.
Pemerintah akhirnya memutuskan membuka investasi asing di industri perfilman. Ini bukan persoalan siapa yang akhirnya menang atau kalah kubu pendukung revisi DNI dan penolaknya. Karena baik pendukung dan penolak revisi DNI sebenarnya punya sikap yang sama. Mereka tidak takut terhadap investor asing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News