YOUR FASHION
JF3 Talk: Siapkah Generasi Muda Memimpin Pergerakan Industri Fesyen Tanah Air?
Yuni Yuli Yanti
Kamis 21 Maret 2024 / 14:00
Jakarta: Industri mode global semakin mengalami perkembangan yang pesat. Begitu juga yang diharapkan dengan industri mode Indonesia, agar dapat terus tumbuh dan berkelanjutan.
Dalam diskusi yang diadakan oleh JF3 Talk dengan para kreatif muda, pelaku dan pemerhati industri fesyen, Thresia Mareta, selaku Founder of LAKON Indonesia mengatakan bahwa selama 19 tahun, JF3 telah menjadi pelaku dari ekosistem industri fashion di Indonesia.
"JF3 telah melihat perjalanan para desainer, brand dan lain sebagainya. Kalau boleh berkata jujur, industri fesyen kita selama 20 tahun ini jalan di tempat. Kami menginisiasi Pintu Incubator untuk terkoneksi ekosistem fesyen di Paris. Kami melihat bagaimana mereka bekerja dengan standar yang diakui secara internasional. Kami, jadi membandingkan, apa yang dilakukan di sini, dengan apa yang mereka lakukan di sana. Dan, faktanya masih sangat jauh. Namun, itu bukan berarti kita gak bisa. Artinya kita perlu melakukan sesuatu," ungkap Thresia.
Keinginan JF3, lanjut Thresia adalah supaya generasi muda di industri fesyen bisa maju di masa yang akan datang. "Menurut kami, ini adalah tanggung jawab kita generasi sekarang baik itu jurnalis, desainer, pemilik brand, atau pun supporting lainnya. Jadi, bagaimana kita bisa mewariskan yang memang bisa bertumbuh di masa depan. Pertanyaannya apa yang bisa kita wariskan kepada mereka dan apakah itu bisa tumbuh di masa depan," tambahnya.
Sementara, Syahmedi Dean selaku Pengamat Mode, Penulis dan Jurnalis Fesyen menyampaikan pendapatnya bagaimana memahami pentingnya ekosistem fesyen di Indonesia. Jadi semua pihak seperti desainer, media dan orang event bisa melihat ekosistem ini dan mengambil sikap atau strategi sesuai apa yang sudah dibukakan.

(Syahmedi Dean dalam acara diskusi JF3: Talk di Teras Lakon Summarecon Serpong, Rabu 920/3/2024). Foto: Dok. Istimewa)
Sebanyak 273 juta penduduk Indonesia di tahun 2021, itu sangat potensial untuk berjualan dibandingkan populasi di Perancis hanya 64 juta jiwa. Di Jakarta sendiri 10 juta jiwa. Kalau satu brand menargetkan 0,001 persen penduduk Jakarta menjadi pembelinya, maka posibility-nya tinggi sekali.
"Dengan angka ini kita harus optimis bahwa ada marketnya. Jangan terpengaruh dengan kampanye brand dari luar yang membuat jadi agak minder. Jadi, sebanyak apa pun brand luar yang masuk, tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan fesyen segitu banyak orang. Jadi, kita masih terbuka untuk berbisnis," jelas Dean.
Selain populasi, menurut Dean, Indonesia juga banyak kegiatan atau acara yang sangat memerlukan busana baru. Seperti Lebaran, Natalan, Kawinan, dan acara-acara tradisional, budaya atau keagamaan lainnya. ini adalah kegiatan budaya yang memutar industri fesyen dan ini tidak ada di Eropa atau Amerika.
"Jadi, ini juga berkaitan dengan banyaknya desainer atau brand yang ingin Go Internasional. Sebaiknya langkah ini diproyeksikan pada negara-negara yang punya budaya atau kebiasaan sama dengan Indonesia. Seperti China, UEI, India, Malaysia yang juga memliki banyak kegiatan kebudayaan atau perayaan yang membutuhkan busana baru," tambahnya.
Dean juga menyarankan agar para desainer terutama di generasi selanjutnya agar bisa menceritakan mengenai koleksinya secara detail kepada para media. Ini perlu dilakukan agar para media juga memiliki bahan tayangan atau penulisan dan agar pemberitaannya tidak hanya tentang pagelaran fashion-nya saja.
"Diharapkan para desainer bisa memperkenalkan koleksinya dengan satu cerita. Ungkapkan pada media apa yang ingin disampaikan dari koleksinya. Juga, saya sarankan agar para desainer menjalin pertemanan secara personal dengan wartawan fesyen. Personal network ini diperlukan untuk menjaga relasi dan nettworking our brand untuk menembus awarness," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(yyy)
Dalam diskusi yang diadakan oleh JF3 Talk dengan para kreatif muda, pelaku dan pemerhati industri fesyen, Thresia Mareta, selaku Founder of LAKON Indonesia mengatakan bahwa selama 19 tahun, JF3 telah menjadi pelaku dari ekosistem industri fashion di Indonesia.
"JF3 telah melihat perjalanan para desainer, brand dan lain sebagainya. Kalau boleh berkata jujur, industri fesyen kita selama 20 tahun ini jalan di tempat. Kami menginisiasi Pintu Incubator untuk terkoneksi ekosistem fesyen di Paris. Kami melihat bagaimana mereka bekerja dengan standar yang diakui secara internasional. Kami, jadi membandingkan, apa yang dilakukan di sini, dengan apa yang mereka lakukan di sana. Dan, faktanya masih sangat jauh. Namun, itu bukan berarti kita gak bisa. Artinya kita perlu melakukan sesuatu," ungkap Thresia.
Keinginan JF3, lanjut Thresia adalah supaya generasi muda di industri fesyen bisa maju di masa yang akan datang. "Menurut kami, ini adalah tanggung jawab kita generasi sekarang baik itu jurnalis, desainer, pemilik brand, atau pun supporting lainnya. Jadi, bagaimana kita bisa mewariskan yang memang bisa bertumbuh di masa depan. Pertanyaannya apa yang bisa kita wariskan kepada mereka dan apakah itu bisa tumbuh di masa depan," tambahnya.
Sementara, Syahmedi Dean selaku Pengamat Mode, Penulis dan Jurnalis Fesyen menyampaikan pendapatnya bagaimana memahami pentingnya ekosistem fesyen di Indonesia. Jadi semua pihak seperti desainer, media dan orang event bisa melihat ekosistem ini dan mengambil sikap atau strategi sesuai apa yang sudah dibukakan.

(Syahmedi Dean dalam acara diskusi JF3: Talk di Teras Lakon Summarecon Serpong, Rabu 920/3/2024). Foto: Dok. Istimewa)
Sebanyak 273 juta penduduk Indonesia di tahun 2021, itu sangat potensial untuk berjualan dibandingkan populasi di Perancis hanya 64 juta jiwa. Di Jakarta sendiri 10 juta jiwa. Kalau satu brand menargetkan 0,001 persen penduduk Jakarta menjadi pembelinya, maka posibility-nya tinggi sekali.
"Dengan angka ini kita harus optimis bahwa ada marketnya. Jangan terpengaruh dengan kampanye brand dari luar yang membuat jadi agak minder. Jadi, sebanyak apa pun brand luar yang masuk, tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan fesyen segitu banyak orang. Jadi, kita masih terbuka untuk berbisnis," jelas Dean.
Selain populasi, menurut Dean, Indonesia juga banyak kegiatan atau acara yang sangat memerlukan busana baru. Seperti Lebaran, Natalan, Kawinan, dan acara-acara tradisional, budaya atau keagamaan lainnya. ini adalah kegiatan budaya yang memutar industri fesyen dan ini tidak ada di Eropa atau Amerika.
"Jadi, ini juga berkaitan dengan banyaknya desainer atau brand yang ingin Go Internasional. Sebaiknya langkah ini diproyeksikan pada negara-negara yang punya budaya atau kebiasaan sama dengan Indonesia. Seperti China, UEI, India, Malaysia yang juga memliki banyak kegiatan kebudayaan atau perayaan yang membutuhkan busana baru," tambahnya.
Dean juga menyarankan agar para desainer terutama di generasi selanjutnya agar bisa menceritakan mengenai koleksinya secara detail kepada para media. Ini perlu dilakukan agar para media juga memiliki bahan tayangan atau penulisan dan agar pemberitaannya tidak hanya tentang pagelaran fashion-nya saja.
"Diharapkan para desainer bisa memperkenalkan koleksinya dengan satu cerita. Ungkapkan pada media apa yang ingin disampaikan dari koleksinya. Juga, saya sarankan agar para desainer menjalin pertemanan secara personal dengan wartawan fesyen. Personal network ini diperlukan untuk menjaga relasi dan nettworking our brand untuk menembus awarness," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(yyy)