FITNESS & HEALTH
Depresi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
Medcom
Selasa 16 April 2024 / 16:26
Jakarta: Sedang ramai soal depresi calon dokter spesialis, melalui laman Databoks - Katadata, dalam artikel yang bertajuk, "2.716 Calon Dokter Spesialis Indonesia Alami Gejala Depresi, Berikut Tingkatannya" disebutkan hasil skrining kesehatan jiwa yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, sebanyak 2.716 calon dokter spesialis atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Indonesia mengalami gejala depresi.
Angka tersebut setara 22,4 persen dari total peserta PPDS per Maret 2024, menurut laporan yang diterima Databoks pada Selasa, 16 April 2024.
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI memberikan tulisannya sebagai berikut:
Sehubungan data Kementerian Kesehatan tentang depresi (bahkan ada keinginan bunuh diri dan lain-lain) pada Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS Vertikal Kemenkes yang banyak dapat komentar kalangan kesehatan dan pendidikan, maka setidaknya ada empat hal yang perlu jadi perhatian.
.jpg)
(Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI mengatakan akan baik kalau ada pembanding. Maksudnya metode yang sama dilakukan juga pada para peserta pendidikan yang lain, mungkin termasuk STPDN, Universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Akan baik kalau ada pembanding. Maksudnya metode yang sama dilakukan juga pada para peserta pendidikan yang lain, mungkin termasuk STPDN, Universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi.
Kalau ada pembanding maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya.
Bahkan akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama juga dilakukan pada masyarakat umum. Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat mungkin akan memberi gambaran depresi pula, dan bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis adalah menggambarkan data pada populasi secara umum.
Dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil evaluasi Kementerian Kesehatan ini, tentu tidak dan jangan berhenti dengan angka deskriptif, perlu dilakukan analisa kualitas untuk melihat faktor penyebabnya.
Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utama, apa penunjangnya, apa faktor lain terkait dan lain-lain. Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga ini maka baru kita akan dapat suatu data yang "evidence based" untuk keputusan tindak lanjutnya.
Untuk mereka yang depresi maka tentu perlu ditangani segera. Kalau depresi ternyata juga terjadi di berbagai Program Pendidikan lain, atau bahkan masyarakat umum (bila sudah ada analisa serupa seperti point pertama dan ke dua di atas) maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi.
Prof. Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI
Jadi, sebenarnya apa itu depresi dan seperti apa gejalanya? Dalam laman Alodokter, dr. Pittara memaparkan bahwa depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai.
Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah dua minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas kerja, gangguan hubungan sosial, hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Penyebab depresi menurut dr. Pittara yaitu umumnya menunjukkan ciri-ciri psikologi dan fisik tertentu. Ciri psikologis orang yang depresi adalah rasa cemas dan khawatir yang berlebihan, emosi yang tidak stabil, serta rasa putus asa atau frustrasi.
Sementara itu, ciri-ciri fisik pada seseorang yang depresi adalah selalu merasa lelah dan tak bertenaga, pusing dan nyeri tanpa penyebab yang jelas, serta menurunnya selera makan.
Dr. Pittara memaparkan bahwa dalam mengobati depresi, psikiater dapat melakukan beberapa cara berikut:
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Angka tersebut setara 22,4 persen dari total peserta PPDS per Maret 2024, menurut laporan yang diterima Databoks pada Selasa, 16 April 2024.
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI memberikan tulisannya sebagai berikut:
Sehubungan data Kementerian Kesehatan tentang depresi (bahkan ada keinginan bunuh diri dan lain-lain) pada Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS Vertikal Kemenkes yang banyak dapat komentar kalangan kesehatan dan pendidikan, maka setidaknya ada empat hal yang perlu jadi perhatian.
.jpg)
(Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI mengatakan akan baik kalau ada pembanding. Maksudnya metode yang sama dilakukan juga pada para peserta pendidikan yang lain, mungkin termasuk STPDN, Universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Pertama
Akan baik kalau ada pembanding. Maksudnya metode yang sama dilakukan juga pada para peserta pendidikan yang lain, mungkin termasuk STPDN, Universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi.
Kalau ada pembanding maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya.
Kedua
Bahkan akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama juga dilakukan pada masyarakat umum. Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat mungkin akan memberi gambaran depresi pula, dan bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis adalah menggambarkan data pada populasi secara umum.
Ketiga
Dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil evaluasi Kementerian Kesehatan ini, tentu tidak dan jangan berhenti dengan angka deskriptif, perlu dilakukan analisa kualitas untuk melihat faktor penyebabnya.
Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utama, apa penunjangnya, apa faktor lain terkait dan lain-lain. Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga ini maka baru kita akan dapat suatu data yang "evidence based" untuk keputusan tindak lanjutnya.
Keempat
Untuk mereka yang depresi maka tentu perlu ditangani segera. Kalau depresi ternyata juga terjadi di berbagai Program Pendidikan lain, atau bahkan masyarakat umum (bila sudah ada analisa serupa seperti point pertama dan ke dua di atas) maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi.
Prof. Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI
Mengenal arti depresi?
Jadi, sebenarnya apa itu depresi dan seperti apa gejalanya? Dalam laman Alodokter, dr. Pittara memaparkan bahwa depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai.
Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah dua minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas kerja, gangguan hubungan sosial, hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Penyebab depresi menurut dr. Pittara yaitu umumnya menunjukkan ciri-ciri psikologi dan fisik tertentu. Ciri psikologis orang yang depresi adalah rasa cemas dan khawatir yang berlebihan, emosi yang tidak stabil, serta rasa putus asa atau frustrasi.
Sementara itu, ciri-ciri fisik pada seseorang yang depresi adalah selalu merasa lelah dan tak bertenaga, pusing dan nyeri tanpa penyebab yang jelas, serta menurunnya selera makan.
Pengobatan depresi
Dr. Pittara memaparkan bahwa dalam mengobati depresi, psikiater dapat melakukan beberapa cara berikut:
- 1. Melakukan psikoterapi atau terapi psikologis, untuk membantu mengatasi masalah akibat depresi
- 2. Memberikan obat antidepresan, untuk mengatasi depresi pasien
- 3. Menjalani perawatan di rumah sakit jika mengalami depresi yang parah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)