FITNESS & HEALTH
Lupus dan Ragam Gejalanya, dari Demam hingga Gangguan Organ Vital
A. Firdaus
Rabu 17 Desember 2025 / 10:12
Jakarta: Lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) dikenal sebagai salah satu penyakit autoimun yang kerap luput dikenali sejak dini. Pasalnya, gejalanya sangat beragam dan sering kali menyerupai penyakit lain, sehingga tak jarang penderita baru terdiagnosis setelah kondisi berkembang lebih serius.
Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi, dr. Santi Sumihar R. Parhusip, Sp.PD, Subsp.AI, FINASIM, menjelaskan bahwa lupus merupakan penyakit dengan spektrum klinis yang sangat luas dan bersifat heterogen.
“Lupus adalah penyakit dengan variasi klinis yang sangat luas. Karena itu, penanganannya juga harus bersifat individual, disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien,” ujar dr. Santi dalam acara Exclusive Talk Internal Medicine Update and Education bersama RS Premier Bintaro dan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Cabang Banten Tangerang, akhir pekan lalu.
Secara medis, lupus termasuk penyakit autoimun sistemik yang dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh. Manifestasi klinisnya sangat bergantung pada organ mana yang terdampak oleh proses imunologis yang terjadi.
“Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai hampir semua sistem organ, dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi,” lanjutnya.
Pada fase awal, lupus umumnya muncul dengan keluhan yang terkesan ringan dan umum, salah satunya demam. Gejala ini hampir selalu ditemukan pada tahap awal penyakit, meskipun tingkat keparahannya bisa berbeda pada setiap individu. Pada anak-anak, demam bahkan menjadi gejala sistemik yang paling dominan.
Selain demam, keterlibatan kulit menjadi salah satu ciri lupus yang paling sering terlihat. Sekitar 71 persen pasien mengalami lupus kutaneus. Ruam khas berbentuk kupu-kupu atau malar rash di area pipi dan hidung tercatat muncul pada sekitar 45 persen kasus.
Tak hanya itu, sekitar 31 persen pasien mengalami alopecia atau rambut rontok, sementara ulkus atau sariawan di mulut ditemukan pada sekitar 26 persen kasus.
Manifestasi lupus yang paling sering dijumpai adalah keterlibatan sendi. Sekitar 85 persen pasien mengalami artritis berupa nyeri, kaku, dan pembengkakan sendi yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada sistem darah, lupus dapat menimbulkan berbagai kelainan hematologis seperti leukopenia, trombositopenia, sindrom antifosfolipid, pembesaran kelenjar getah bening, hingga anemia hemolitik autoimun.
Jika imun kompleks mengendap di ginjal, pasien berisiko mengalami lupus nefritis yang terjadi pada sekitar 21 persen kasus. Sementara itu, keterlibatan sistem saraf pusat atau neuropsychiatric SLE dapat memicu kejang, stroke, neuropati kranial, hingga gangguan kognitif.
Pada jantung dan paru, lupus juga dapat menyebabkan serositis yang tercatat terjadi pada sekitar 19 persen pasien.
Beragamnya gejala lupus tak lepas dari proses patogenesis yang kompleks. Penyakit ini berawal dari kegagalan tubuh membersihkan sel-sel mati (apoptotic cells), sehingga antigen nuklear terekspos dan dianggap sebagai ancaman oleh sistem imun.
Paparan sinar ultraviolet, infeksi virus atau bakteri, serta faktor hormonal dapat memperburuk kondisi ini. Aktivasi sel T dan sel B yang tidak terkontrol memicu produksi autoantibodi dalam jumlah besar.
Autoantibodi tersebut kemudian membentuk imun kompleks yang mengendap di berbagai jaringan tubuh, memicu peradangan dan kerusakan organ. Proses ini semakin diperparah oleh pelepasan sitokin proinflamasi seperti interferon gamma, interleukin-4, dan TGF-beta.
Kondisi inilah yang membuat setiap penderita lupus hampir tidak pernah memiliki pola penyakit yang sama.
Karena perjalanan lupus dapat berkembang dari ringan hingga berat, diagnosis dini menjadi kunci utama. Penegakan diagnosis dilakukan melalui kombinasi evaluasi gejala klinis, pemeriksaan pencitraan, serta pemeriksaan serologis.
Deteksi dan penanganan sejak awal diharapkan dapat menekan progresivitas penyakit sekaligus mencegah kerusakan organ permanen, sehingga kualitas hidup pasien tetap terjaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi, dr. Santi Sumihar R. Parhusip, Sp.PD, Subsp.AI, FINASIM, menjelaskan bahwa lupus merupakan penyakit dengan spektrum klinis yang sangat luas dan bersifat heterogen.
“Lupus adalah penyakit dengan variasi klinis yang sangat luas. Karena itu, penanganannya juga harus bersifat individual, disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien,” ujar dr. Santi dalam acara Exclusive Talk Internal Medicine Update and Education bersama RS Premier Bintaro dan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Cabang Banten Tangerang, akhir pekan lalu.
Secara medis, lupus termasuk penyakit autoimun sistemik yang dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh. Manifestasi klinisnya sangat bergantung pada organ mana yang terdampak oleh proses imunologis yang terjadi.
“Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai hampir semua sistem organ, dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi,” lanjutnya.
Gejala awal yang kerap diabaikan
Pada fase awal, lupus umumnya muncul dengan keluhan yang terkesan ringan dan umum, salah satunya demam. Gejala ini hampir selalu ditemukan pada tahap awal penyakit, meskipun tingkat keparahannya bisa berbeda pada setiap individu. Pada anak-anak, demam bahkan menjadi gejala sistemik yang paling dominan.
Selain demam, keterlibatan kulit menjadi salah satu ciri lupus yang paling sering terlihat. Sekitar 71 persen pasien mengalami lupus kutaneus. Ruam khas berbentuk kupu-kupu atau malar rash di area pipi dan hidung tercatat muncul pada sekitar 45 persen kasus.
Tak hanya itu, sekitar 31 persen pasien mengalami alopecia atau rambut rontok, sementara ulkus atau sariawan di mulut ditemukan pada sekitar 26 persen kasus.
Nyeri sendi hingga gangguan organ vital
Manifestasi lupus yang paling sering dijumpai adalah keterlibatan sendi. Sekitar 85 persen pasien mengalami artritis berupa nyeri, kaku, dan pembengkakan sendi yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada sistem darah, lupus dapat menimbulkan berbagai kelainan hematologis seperti leukopenia, trombositopenia, sindrom antifosfolipid, pembesaran kelenjar getah bening, hingga anemia hemolitik autoimun.
Jika imun kompleks mengendap di ginjal, pasien berisiko mengalami lupus nefritis yang terjadi pada sekitar 21 persen kasus. Sementara itu, keterlibatan sistem saraf pusat atau neuropsychiatric SLE dapat memicu kejang, stroke, neuropati kranial, hingga gangguan kognitif.
Pada jantung dan paru, lupus juga dapat menyebabkan serositis yang tercatat terjadi pada sekitar 19 persen pasien.
Mengapa gejalanya bisa berbeda-beda?
Beragamnya gejala lupus tak lepas dari proses patogenesis yang kompleks. Penyakit ini berawal dari kegagalan tubuh membersihkan sel-sel mati (apoptotic cells), sehingga antigen nuklear terekspos dan dianggap sebagai ancaman oleh sistem imun.
Paparan sinar ultraviolet, infeksi virus atau bakteri, serta faktor hormonal dapat memperburuk kondisi ini. Aktivasi sel T dan sel B yang tidak terkontrol memicu produksi autoantibodi dalam jumlah besar.
Autoantibodi tersebut kemudian membentuk imun kompleks yang mengendap di berbagai jaringan tubuh, memicu peradangan dan kerusakan organ. Proses ini semakin diperparah oleh pelepasan sitokin proinflamasi seperti interferon gamma, interleukin-4, dan TGF-beta.
Kondisi inilah yang membuat setiap penderita lupus hampir tidak pernah memiliki pola penyakit yang sama.
Pentingnya Diagnosis Dini
Karena perjalanan lupus dapat berkembang dari ringan hingga berat, diagnosis dini menjadi kunci utama. Penegakan diagnosis dilakukan melalui kombinasi evaluasi gejala klinis, pemeriksaan pencitraan, serta pemeriksaan serologis.
Deteksi dan penanganan sejak awal diharapkan dapat menekan progresivitas penyakit sekaligus mencegah kerusakan organ permanen, sehingga kualitas hidup pasien tetap terjaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)