FEATURE
Hari Buruh dan Kemerdekaan Laktasi Pekerja Perempuan Indonesia
Medcom
Rabu 01 Mei 2024 / 08:05
Jakarta: Hari Buruh merupakan momentum terbaik bagi pekerja untuk mengekspresikan aspirasi, menuntut hak-hak mereka, dan memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja.
Namun penting mengingatkan adanya keterkaitan antara semangat memperjuangkan universalitas kesejahteraan pekerja dengan aspirasi spesifik yang melekat hanya pada pekerja perempuan, terutama hak kesehatan reproduksi dan hak laktasi atau kebebasan menyusui sambil bekerja.
Fokus pada isu spesifik terkait pekerja perempuan sangat beralasan. Dari aspek jumlah dan tingkat partisipasi mereka di dunia kerja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta pekerja di Indonesia.
Jumlah ini setara dengan 38,98 persen dari total pekerja di tanah air. Ini menjadikan tenaga kerja perempuan sebagai bagian dari komponen demografis kritikal yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Namun pekerja perempuan menghadapi tantangan spesifik yang sangat kompleks yang bukan saja tidak dihadapi pekerja laki-laki, tetapi tingkat keberpihakan pemilik tempat kerja juga masih rendah. Salah satu fokus isu adalah tantangan menjalankan peran laktasi atau menyusui ditempat kerja.

(Ray Wagiu Basrowi. Foto: Dok. Istimewa)
Data dari penelitian Basrowi dkk (2018) menemukan hanya 19 persen buruh perempuan yang berhasil memberi Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif setelah kembali dari cuti melahirkan. Hal ini diakibatkan terutama oleh cuti melahirkan yang hanya tiga bulan, tidak ada waktu kerja fleksibel dan rendahnya dukungan promosi laktasi di tempat kerja.
Padahal badan kesehatan dunia (WHO) menegaskan pemberian ASI Ekslusif enam bulan wajib dilakukan karena selain memberi manfaat kesehatan bagi bayi, juga menjaga ibu tetap sehat, terhindar dari stres pascasalin dan baby blues, serta terlindungi dari penyakit sindrom metabolik secara jangka panjang.
Bahkan studi dari Basrowi bersama Prodi Magister Kedokteran Kerja FKUI di tahun 2019 membuktikan pekerja perempuan yang berhasil ASI Eksklusif memiliki tingkat pencapaian target kerja yang lebih tinggi dan bahkan 1,5 kali lebih berpeluang untuk tidak sering absen dari pekerjaannya. Namun kenyataannya memang dukungan laktasi belum menjadi prioritas tuntutan gerakan buruh di Indonesia.
Merujuk pada riset yang dilakukan Peraih Nobel Ekonomi 2023, Claudia Goldin menunjukkan bagaimana perempuan masih terikat dengan kondisi “motherhood penalty” serta secara lugas menegaskan tanggung jawab rumah tangga yang tak berimbang membatasi gerak mereka untuk memajukan karier dan memperoleh pendapatan yang lebih baik. Kondisi ini relevan tak hanya bagi perempuan AS tetapi juga di kancah global–termasuk Indonesia.
Hal ini pun sejalan dengan studi dari Triaryati yang membuktikan bahwa pekerja perempuan di usia produktif kesulitan menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan tenaga kerja, diakibatkan satu tantangan berat yang sulit terselesaikan, yaitu peran laktasi. Kondisi ini terutama ditemukan pada kelompok pekerja buruh.
Data dari penelitian Health Collaborative Center (HCC) pada peringatan Pekan ASI Sedunia 2022 juga menunjukkan sebagian besar pekerja perempuan kesulitan bekerja setelah kembali dari cuti melahirkan karena ada perasaan bersalah harus meninggalkan bayi di rumah yang masih berusia kurang dari enam bulan.
.jpg)
(Kemerdekaan laktasi bukan hanya sebatas hak, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya pekerja perempuan di Indonesia. Foto: Ilustrasi/Dok. Freepik.com)
Padahal masa-masa ini adalah periode penting yang perlu asupan ASI Eksklusif dan stimulasi lewat pengasuhan ibu. Ini tentu bentuk ketidakadilan bagi pekerja perempuan Indonesia.
Status pekerjaan tidak seharusnya menjadi penghalang suksesnya ibu mengasuh bayinya. Itu sebabnya dukungan tempat kerja menjadi sangat menentukan. Namun, bagi pekerja perempuan terutama buruh di Indonesia, terkadang hak ini sulit dilaksanakan karena berbagai kendala di tempat kerja.
Data penelitian salah satu tesis Magister Kedokteran Kerja (MKK) FKUI di tahun 2015 menemukan fakta bahwa 1 dari 2 buruh perempuan yang kembali dari cuti melahirkan terpaksa memompa ASi di toilet atau kamar mandi pabrik karena tidak adanya ruang laktasi dan fasilitas menyusui yang memadai di pabrik.
Data serupa di tahun 2022 yang dilakukan HCC menunjukkan gambaran mirip, masih banyak ibu pekerja yang lebih nyaman menyusui di toilet atau kamar mandi karena merasa lebih mendapatkan privacy. Hal ini menunjukkan aspek lemahnya dukungan di tempat kerja bisa menjadi barrier yang membahayakan peran laktasi.
Satu tantangan berat lainnya adalah kesadaran dan pemahaman pemilik tempat kerja yang masih rendah terkait pentingnya kebebasan laktasi di tempat kerja. Banyak perusahaan yang belum menyediakan fasilitas yang memadai atau bahkan kurang mendukung para pekerja perempuan yang sedang menyusui.
Penelitian Stewart di tahun 2008 menemukan bahwa masih banyak manajer dan pengawas pekerja di pabrik yang memiliki persepsi bahwa istirahat memompa ASI justru mengganggu waktu kerja dan menghambat produktivitas buruh perempuan.
Selain itu, diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang menyusui juga masih menjadi masalah yang perlu diatasi. Beberapa pekerja perempuan mungkin merasa tidak nyaman atau dihakimi saat meminta waktu istirahat laktasi di tempat kerja. Hal ini dapat menghambat upaya pencapaian keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga bagi pekerja perempuan.
Penelitian bertajuk "Developing a workplace lactation promotion model in Indonesia using Delphi technique" yang dipublikasikan di PGHN pada 2018 membuktikan bahwa dukungan paket promosi laktasi yang memadai di tempat kerja sangat penting untuk mendukung kesuksesan peran laktasi.
.jpg)
(Penting mengingatkan adanya keterkaitan antara semangat memperjuangkan universalitas kesejahteraan pekerja dengan aspirasi spesifik yang melekat hanya pada pekerja perempuan, terutama hak kesehatan reproduksi dan hak laktasi atau kebebasan menyusui sambil bekerja. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Dan ini semua dilandaskan oleh tiga komponen pokok:
Ketika model ini diterapkan maka peluang pekerja perempuan yang sukses menyusui semakin tinggi, dan dampak terhadap pencapaian target pun semakin baik.
Semakin banyaknya narasi temuan ilmiah tentang pentingnya dukungan laktasi ditempat kerja wajib diperjuangkan oleh serikat buruh dan dokter perusahan, sebagai bagian dari semangat pergerakan buruh. Hak laktasi seharusnya dilindungi dan didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah. Dan ini harus dimulai tentunya dengan penegakan supremasi hukum dan peraturan perundang-undangan.
Angin segar memang sedang berhembus di DPR RI saat ini dengan semakin dekat disahkannya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang mengatur potensi cuti melahirkan pekerja perempuan yang lebih panjang, tidak hanya tiga bulan saja, dan tetap berbayar meskipun tidak seratus persen upah. RUU KIA ini berpotensi menjadi aturan krusial yang sangat positif bagi kemerdekaan laktasi dan hak pekerja perempuan.
Pekerja perempuan terutama buruh tidak harus dihadapkan pada pilihan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu dan istri. Inipun sebenarnya salah satu spirit perjuangan buruh. Dan narasi kemerdekaan laktasi bagi pekerja perempuan di Indonesia harus lebih lantang disuarakan gerakan buruh.
Kemerdekaan laktasi bukan hanya sebatas hak, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya pekerja perempuan di Indonesia.
Ray Wagiu Basrowi
Peneliti dan Pengajar Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI dan
Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center (HCC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Namun penting mengingatkan adanya keterkaitan antara semangat memperjuangkan universalitas kesejahteraan pekerja dengan aspirasi spesifik yang melekat hanya pada pekerja perempuan, terutama hak kesehatan reproduksi dan hak laktasi atau kebebasan menyusui sambil bekerja.
Fokus pada isu spesifik terkait pekerja perempuan sangat beralasan. Dari aspek jumlah dan tingkat partisipasi mereka di dunia kerja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta pekerja di Indonesia.
Jumlah ini setara dengan 38,98 persen dari total pekerja di tanah air. Ini menjadikan tenaga kerja perempuan sebagai bagian dari komponen demografis kritikal yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Namun pekerja perempuan menghadapi tantangan spesifik yang sangat kompleks yang bukan saja tidak dihadapi pekerja laki-laki, tetapi tingkat keberpihakan pemilik tempat kerja juga masih rendah. Salah satu fokus isu adalah tantangan menjalankan peran laktasi atau menyusui ditempat kerja.

(Ray Wagiu Basrowi. Foto: Dok. Istimewa)
Data dari penelitian Basrowi dkk (2018) menemukan hanya 19 persen buruh perempuan yang berhasil memberi Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif setelah kembali dari cuti melahirkan. Hal ini diakibatkan terutama oleh cuti melahirkan yang hanya tiga bulan, tidak ada waktu kerja fleksibel dan rendahnya dukungan promosi laktasi di tempat kerja.
Padahal badan kesehatan dunia (WHO) menegaskan pemberian ASI Ekslusif enam bulan wajib dilakukan karena selain memberi manfaat kesehatan bagi bayi, juga menjaga ibu tetap sehat, terhindar dari stres pascasalin dan baby blues, serta terlindungi dari penyakit sindrom metabolik secara jangka panjang.
Bahkan studi dari Basrowi bersama Prodi Magister Kedokteran Kerja FKUI di tahun 2019 membuktikan pekerja perempuan yang berhasil ASI Eksklusif memiliki tingkat pencapaian target kerja yang lebih tinggi dan bahkan 1,5 kali lebih berpeluang untuk tidak sering absen dari pekerjaannya. Namun kenyataannya memang dukungan laktasi belum menjadi prioritas tuntutan gerakan buruh di Indonesia.
Merujuk pada riset yang dilakukan Peraih Nobel Ekonomi 2023, Claudia Goldin menunjukkan bagaimana perempuan masih terikat dengan kondisi “motherhood penalty” serta secara lugas menegaskan tanggung jawab rumah tangga yang tak berimbang membatasi gerak mereka untuk memajukan karier dan memperoleh pendapatan yang lebih baik. Kondisi ini relevan tak hanya bagi perempuan AS tetapi juga di kancah global–termasuk Indonesia.
Hal ini pun sejalan dengan studi dari Triaryati yang membuktikan bahwa pekerja perempuan di usia produktif kesulitan menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan tenaga kerja, diakibatkan satu tantangan berat yang sulit terselesaikan, yaitu peran laktasi. Kondisi ini terutama ditemukan pada kelompok pekerja buruh.
Data dari penelitian Health Collaborative Center (HCC) pada peringatan Pekan ASI Sedunia 2022 juga menunjukkan sebagian besar pekerja perempuan kesulitan bekerja setelah kembali dari cuti melahirkan karena ada perasaan bersalah harus meninggalkan bayi di rumah yang masih berusia kurang dari enam bulan.
.jpg)
(Kemerdekaan laktasi bukan hanya sebatas hak, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya pekerja perempuan di Indonesia. Foto: Ilustrasi/Dok. Freepik.com)
Padahal masa-masa ini adalah periode penting yang perlu asupan ASI Eksklusif dan stimulasi lewat pengasuhan ibu. Ini tentu bentuk ketidakadilan bagi pekerja perempuan Indonesia.
Status pekerjaan tidak seharusnya menjadi penghalang suksesnya ibu mengasuh bayinya. Itu sebabnya dukungan tempat kerja menjadi sangat menentukan. Namun, bagi pekerja perempuan terutama buruh di Indonesia, terkadang hak ini sulit dilaksanakan karena berbagai kendala di tempat kerja.
Data penelitian salah satu tesis Magister Kedokteran Kerja (MKK) FKUI di tahun 2015 menemukan fakta bahwa 1 dari 2 buruh perempuan yang kembali dari cuti melahirkan terpaksa memompa ASi di toilet atau kamar mandi pabrik karena tidak adanya ruang laktasi dan fasilitas menyusui yang memadai di pabrik.
Data serupa di tahun 2022 yang dilakukan HCC menunjukkan gambaran mirip, masih banyak ibu pekerja yang lebih nyaman menyusui di toilet atau kamar mandi karena merasa lebih mendapatkan privacy. Hal ini menunjukkan aspek lemahnya dukungan di tempat kerja bisa menjadi barrier yang membahayakan peran laktasi.
Satu tantangan berat lainnya adalah kesadaran dan pemahaman pemilik tempat kerja yang masih rendah terkait pentingnya kebebasan laktasi di tempat kerja. Banyak perusahaan yang belum menyediakan fasilitas yang memadai atau bahkan kurang mendukung para pekerja perempuan yang sedang menyusui.
Penelitian Stewart di tahun 2008 menemukan bahwa masih banyak manajer dan pengawas pekerja di pabrik yang memiliki persepsi bahwa istirahat memompa ASI justru mengganggu waktu kerja dan menghambat produktivitas buruh perempuan.
Selain itu, diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang menyusui juga masih menjadi masalah yang perlu diatasi. Beberapa pekerja perempuan mungkin merasa tidak nyaman atau dihakimi saat meminta waktu istirahat laktasi di tempat kerja. Hal ini dapat menghambat upaya pencapaian keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga bagi pekerja perempuan.
Penelitian bertajuk "Developing a workplace lactation promotion model in Indonesia using Delphi technique" yang dipublikasikan di PGHN pada 2018 membuktikan bahwa dukungan paket promosi laktasi yang memadai di tempat kerja sangat penting untuk mendukung kesuksesan peran laktasi.
3 komponen pokok
.jpg)
(Penting mengingatkan adanya keterkaitan antara semangat memperjuangkan universalitas kesejahteraan pekerja dengan aspirasi spesifik yang melekat hanya pada pekerja perempuan, terutama hak kesehatan reproduksi dan hak laktasi atau kebebasan menyusui sambil bekerja. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Dan ini semua dilandaskan oleh tiga komponen pokok:
- (1) Kebijakan waktu kerja fleksibel
- (2) Sumberdaya manusia pendukung laktasi, terutama peran dokter perusahaan, dan
- (3) Investasi sarana dan program edukasi
Ketika model ini diterapkan maka peluang pekerja perempuan yang sukses menyusui semakin tinggi, dan dampak terhadap pencapaian target pun semakin baik.
Semakin banyaknya narasi temuan ilmiah tentang pentingnya dukungan laktasi ditempat kerja wajib diperjuangkan oleh serikat buruh dan dokter perusahan, sebagai bagian dari semangat pergerakan buruh. Hak laktasi seharusnya dilindungi dan didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah. Dan ini harus dimulai tentunya dengan penegakan supremasi hukum dan peraturan perundang-undangan.
Angin segar memang sedang berhembus di DPR RI saat ini dengan semakin dekat disahkannya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang mengatur potensi cuti melahirkan pekerja perempuan yang lebih panjang, tidak hanya tiga bulan saja, dan tetap berbayar meskipun tidak seratus persen upah. RUU KIA ini berpotensi menjadi aturan krusial yang sangat positif bagi kemerdekaan laktasi dan hak pekerja perempuan.
Pekerja perempuan terutama buruh tidak harus dihadapkan pada pilihan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu dan istri. Inipun sebenarnya salah satu spirit perjuangan buruh. Dan narasi kemerdekaan laktasi bagi pekerja perempuan di Indonesia harus lebih lantang disuarakan gerakan buruh.
Kemerdekaan laktasi bukan hanya sebatas hak, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya pekerja perempuan di Indonesia.
Ray Wagiu Basrowi
Peneliti dan Pengajar Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI dan
Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center (HCC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)