FAMILY
Meski Alami KDRT, Perempuan Kadang Enggan Meninggalkan, Ini 6 Alasannya
Mia Vale
Kamis 22 Agustus 2024 / 19:15
Jakarta: Akhir-akhir ini kita kerap melihat berita utama yang memuat tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Melihat perlakuan seorang suami seperti itu tentu membuat kamu yang notabene seorang wanita tentu akan kesal.
Tapi kadang perempuan atau istri yang menjadi korban memilih untuk tetap bertahan. Nah, kamu pasti akan berucap, "Mengapa dia tidak pergi saja? Memangnya sesusah apa sih??"
Ya, banyak yang beranggapan bahwa jika seorang perempuan berada dalam hubungan yang penuh kekerasan, maka dialah yang membuat pilihan untuk tetap tinggal dan bahwa dia memiliki kekuatan untuk mengakhiri pelecehan tersebut jika dia meninggalkannya.
Kata-kata seperti itu memang mudah diucapkan. Sikap menyalahkan dan penilaian yang tersirat itu mudah untuk dilontarkan untuk para perempuan yang menjadi korban KDRT. Namun sebenarnya, itu semua tidak perlu.
Kita harus berhenti menyalahkan para penyintas karena tetap tinggal dan mulai mendukung mereka agar mereka bisa pergi.
Dengan memahami banyak hambatan yang menghalangi perempuan untuk meninggalkan hubungan yang mengandung kekerasan – baik itu ancaman psikologis, emosional, finansial, atau fisik – kita dapat mulai mendukung dan memberdayakan perempuan untuk membuat keputusan terbaik bagi mereka sambil tetap meminta pertanggungjawaban pelaku kekerasan.
Berikut beberapa alasan yang mungkin menjadi alasan bagi mereka untuk tetap bertahan.
Salah satu alasan terpenting mengapa perempuan tidak meninggalkan rumah adalah karena hal itu bisa sangat berbahaya. Ketakutan yang dirasakan perempuan sangatlah nyata, karena bagi mereka akan ada kemungkinan terjadinya kekerasan setelah perpisahan.
Korban kerap hidup dalam ketakutan dan berpikir kalau mereka meninggalkan pelaku, hidup mereka akan semakin buruk akibat ancaman yang diterima. Ancaman dari pelaku, termasuk ancaman pembalasan atau balas dendam, sering kali membuat korban merasa lebih aman untuk tetap tinggal, meskipun dalam situasi yang berbahaya.
.jpg)
(Kamu bisa mengunjungi psikolog untuk menceritakan masalah yang ada di rumah tanggamu, dan mintalah saran yang tepat. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Kekerasan dalam rumah tangga seperti dinukil dari Women Said, sering kali dilakukan dengan cara mengisolasi korbannya. Pelaku berupaya melemahkan hubungannya dengan keluarga dan teman, sehingga sangat sulit untuk mencari dukungan. Ruang lingkup korban dibatasi. Isolasi inu membuat korban menjadi sangat bergantung pada pasangannya yang mengontrol.
Pelaku sering kali sangat dihormati atau disukai di komunitasnya karena mereka menawan dan manipulatif. Pelaku sering kali meremehkan, menyangkal atau menyalahkan korbannya. Dengan begitu, korban akan merasa malu atau membuat alasan pada diri mereka sendiri dan orang lain untuk menutupi KDRT yang mereka alami. Bahkan, banyak para perempuan tersebut yang menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya KDRT tersebut.
Pasangan abusive (kasar) hanya membutuhkan kita untuk menunjukkan cinta kita kepadanya. Ketika korban mengalami KDRT untuk kali pertama, pasti ada harapan perlaku akan berubah, terlebih bila pelaku meminta maaf.
Sikap penyesalan dan janji untuk tidak lagi melakukan kekerasan membuat korban merasa bahwa ada harapan bagi hubungan mereka untuk menjadi lebih baik. Namun, kadang itu hanya sekadar ucapan sementara, karena pelaku akan terus mengulanginya. Sayangnya, korban masih bertahan dengan harapan pelaku akan benar-benar berubah.
Pelaku sering memberi doktrin kalau korban tidak busa hidup tanpa dirinya, tidak ada yang menyayangi korban sebesar pelaku menyayanginya, atau doktrin manipulasi psikologis lainnya. Pelaku mampu membuat korban merasa tidak berharga, tidak mampu hidup sendiri, atau tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik.
Akibatnya, korban merasa terjebak secara emosional dan mental. Ketakutan untuk hidup mandiri di dunia luar dan lepas dari pelaku selalu muncul yang mengakibatkan korban memilih hidup dalam pernikahan yang sebenarnya penuh teror setiap hari.
Umumnya korban yang mengalami KDRT telah memiliki anak. Dan saat mengalami itu anak-anaklah yang menjadi pertimbangan mereka untuk bertahan dalam hubungan pernikahan yang toksik. Mereka bingung, seandainya memilih lepas dari hubungan itu, bagaimana kesejahteraan anak-anaknya.
Mereka juga khawatir tentang bagaimana perceraian akan memengaruhi anak-anak secara emosional atau bagaimana mereka akan mampu menghidupi anak-anak mereka tanpa bantuan dari pelaku. Atas semua pertimbangan itu, korban lebih memilih untuk bertahan, walaupun kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata 'sehat'.
Yang harus diingat, apapun alasannya KDRT tidak dibenarkan dalam sebuah pernikahan. Apalagi bila pelaku menggunakan alasan terpaksa melakukan itu karena sayang dan tidak ingin kehilangan korban. Jangan ragu untuk melaporkan atau mencari bantuan kepada keluarga, teman, atau orang yang bisa dipercaya.
Carilah solusi untuk masalah ini. Berharapa agar pelaku KDRT berubah, boleh, tapi bila sudah sering terjadi, segera ambil keputusan. Jangan sampai berlarut-larut dan menyesal pada akhirnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Tapi kadang perempuan atau istri yang menjadi korban memilih untuk tetap bertahan. Nah, kamu pasti akan berucap, "Mengapa dia tidak pergi saja? Memangnya sesusah apa sih??"
Ya, banyak yang beranggapan bahwa jika seorang perempuan berada dalam hubungan yang penuh kekerasan, maka dialah yang membuat pilihan untuk tetap tinggal dan bahwa dia memiliki kekuatan untuk mengakhiri pelecehan tersebut jika dia meninggalkannya.
Kata-kata seperti itu memang mudah diucapkan. Sikap menyalahkan dan penilaian yang tersirat itu mudah untuk dilontarkan untuk para perempuan yang menjadi korban KDRT. Namun sebenarnya, itu semua tidak perlu.
Kita harus berhenti menyalahkan para penyintas karena tetap tinggal dan mulai mendukung mereka agar mereka bisa pergi.
Dengan memahami banyak hambatan yang menghalangi perempuan untuk meninggalkan hubungan yang mengandung kekerasan – baik itu ancaman psikologis, emosional, finansial, atau fisik – kita dapat mulai mendukung dan memberdayakan perempuan untuk membuat keputusan terbaik bagi mereka sambil tetap meminta pertanggungjawaban pelaku kekerasan.
Berikut beberapa alasan yang mungkin menjadi alasan bagi mereka untuk tetap bertahan.
1. Bahaya dan ketakutan
Salah satu alasan terpenting mengapa perempuan tidak meninggalkan rumah adalah karena hal itu bisa sangat berbahaya. Ketakutan yang dirasakan perempuan sangatlah nyata, karena bagi mereka akan ada kemungkinan terjadinya kekerasan setelah perpisahan.
Korban kerap hidup dalam ketakutan dan berpikir kalau mereka meninggalkan pelaku, hidup mereka akan semakin buruk akibat ancaman yang diterima. Ancaman dari pelaku, termasuk ancaman pembalasan atau balas dendam, sering kali membuat korban merasa lebih aman untuk tetap tinggal, meskipun dalam situasi yang berbahaya.
.jpg)
(Kamu bisa mengunjungi psikolog untuk menceritakan masalah yang ada di rumah tanggamu, dan mintalah saran yang tepat. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
2. Isolasi
Kekerasan dalam rumah tangga seperti dinukil dari Women Said, sering kali dilakukan dengan cara mengisolasi korbannya. Pelaku berupaya melemahkan hubungannya dengan keluarga dan teman, sehingga sangat sulit untuk mencari dukungan. Ruang lingkup korban dibatasi. Isolasi inu membuat korban menjadi sangat bergantung pada pasangannya yang mengontrol.
3. Malu dan menyangkal
Pelaku sering kali sangat dihormati atau disukai di komunitasnya karena mereka menawan dan manipulatif. Pelaku sering kali meremehkan, menyangkal atau menyalahkan korbannya. Dengan begitu, korban akan merasa malu atau membuat alasan pada diri mereka sendiri dan orang lain untuk menutupi KDRT yang mereka alami. Bahkan, banyak para perempuan tersebut yang menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya KDRT tersebut.
4. Yakin pasangan akan berubah
Pasangan abusive (kasar) hanya membutuhkan kita untuk menunjukkan cinta kita kepadanya. Ketika korban mengalami KDRT untuk kali pertama, pasti ada harapan perlaku akan berubah, terlebih bila pelaku meminta maaf.
Sikap penyesalan dan janji untuk tidak lagi melakukan kekerasan membuat korban merasa bahwa ada harapan bagi hubungan mereka untuk menjadi lebih baik. Namun, kadang itu hanya sekadar ucapan sementara, karena pelaku akan terus mengulanginya. Sayangnya, korban masih bertahan dengan harapan pelaku akan benar-benar berubah.
5. Trauma dan rendahnya rasa percaya diri
Pelaku sering memberi doktrin kalau korban tidak busa hidup tanpa dirinya, tidak ada yang menyayangi korban sebesar pelaku menyayanginya, atau doktrin manipulasi psikologis lainnya. Pelaku mampu membuat korban merasa tidak berharga, tidak mampu hidup sendiri, atau tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik.
Akibatnya, korban merasa terjebak secara emosional dan mental. Ketakutan untuk hidup mandiri di dunia luar dan lepas dari pelaku selalu muncul yang mengakibatkan korban memilih hidup dalam pernikahan yang sebenarnya penuh teror setiap hari.
6. Demi anak-anak
Umumnya korban yang mengalami KDRT telah memiliki anak. Dan saat mengalami itu anak-anaklah yang menjadi pertimbangan mereka untuk bertahan dalam hubungan pernikahan yang toksik. Mereka bingung, seandainya memilih lepas dari hubungan itu, bagaimana kesejahteraan anak-anaknya.
Mereka juga khawatir tentang bagaimana perceraian akan memengaruhi anak-anak secara emosional atau bagaimana mereka akan mampu menghidupi anak-anak mereka tanpa bantuan dari pelaku. Atas semua pertimbangan itu, korban lebih memilih untuk bertahan, walaupun kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata 'sehat'.
Yang harus diingat, apapun alasannya KDRT tidak dibenarkan dalam sebuah pernikahan. Apalagi bila pelaku menggunakan alasan terpaksa melakukan itu karena sayang dan tidak ingin kehilangan korban. Jangan ragu untuk melaporkan atau mencari bantuan kepada keluarga, teman, atau orang yang bisa dipercaya.
Carilah solusi untuk masalah ini. Berharapa agar pelaku KDRT berubah, boleh, tapi bila sudah sering terjadi, segera ambil keputusan. Jangan sampai berlarut-larut dan menyesal pada akhirnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)