COMMUNITY

5 Kisah Perempuan yang Mampu Bangkit di Tengah Pandemi Covid-19

Medcom
Rabu 21 April 2021 / 13:10
Jakarta: Salah satu pesan yang terngiang dari Ibu Kita Kartini adalah, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kini pesan tersebut mampu diaplikasikan oleh beberapa perempuan zaman now.

Gaya.id mencoba merangkum lima kisah perempuan Indonesia yang berhasil bangkit dan melakukan upaya kepahlawanan, baik dalam kehidupan mereka sendiri, maupun menebar manfaat di sekelilingnya.

Berikut 5 kisah perempuan yang mampu bangkit di tengah pandemi covid-19 dalam rangka memperingati Hari Kartini:
 

1. Dr. Susana Somali, si Penyelamat Anjing


Pandemi covid-19 telah memberatkan banyak situasi, termasuk juga perekonomian dunia. Hal ini secara tidak langsung juga berdampak pada kelangsungan hidup anjing-anjing yang terlantar.
 
Namun, Dokter Susana Somali tidak diam saja. Dokter spesialis patologi klinik ini sebisa mungkin merawat para anjing yang perlu mendapat pertolongan. Hatinya iba melihat anjing dan kucing yang tertabrak atau telantar sejak ia tinggal di Bandung.


 
Dokter Susana memang menyayangi hewan peliharaan sejak kecil. Kala ia berkuliah dan menetap di Jakarta, kemudian ia mulai mendirikan kandang kecil untuk 70 anjing yang berkeliaran di jalanan.

“Banyak sekali anjing-anjing yang berakhir di tempat jagal. Dengan adanya covid-19, penghasilan jadi turun. Dengan pikiran pendek mereka jadi menjual anjing ke tempat pemotongan,” ujarnya dalam Siaran Selamat Pagi Indonesia, Metro TV.

“Karena mereka sudah mulai panik akan kerjaan, mereka jadi tangkap anjing-anjing di jalan untuk dijual. Mereka (anjing) juga jadi cari sumber protein yang paling murah (untuk dimakan),” tambahnya.
 
 

2. Evariana, Bangkit dari Pandemi untuk Pertahankan Kerajinan Tangan


Pandemi covid-19 telah meruntuhkan banyak usaha yang sudah dibangun lama. Kendati demikian, beberapa pengusaha dengan segala upaya tetap berusaha untuk bangkit dari keterpurukan itu dengan setia menjual produk mereka.
 
Hal ini terlihat dari kisah Evariana, seorang ibu rumah tangga yang setia menjual kerajinan berupa aksesoris. Dia mencari segala peluang agar dia tetap bisa menjual produknya walaupun pandemi menghadang.
 
Eva bercerita bahwa usahanya ini dimulai sejak 2011. Awalnya ia membuat aksesori untuk kepentingan sendiri. Namun ia merasa bahwa aksesorisnya ini bisa diterima oleh orang-orang di sekitarnya dan memutuskan untuk menjualnya juga.

“Karena melihat kondisi perempuan Aceh memakai hijab, saya merasa peluang bisnisnya besar. Karena perempuan pakai jilbab kan memakai aksesoris seperti bros. Mereka juga mau tampil modis dengan menggunakan kalung, anting. Saat saya membuat dan mulai banyak permintaan. Saya tekunin dan seriusin,” ungkap Eva dalam Newsline, Metro TV.

Eva juga mengungkapkan bahwa ia menjual banyak kerajinan yang ditujukan untuk perempuan. Proses pengerjaannya oleh tangan sendiri dan menggunakan bahan-bahan dan konsep ala Aceh.
 
“Produk saya ini untuk aksesoris perempuan seperti kalung gelang anting bros cincin. Di sini kita menggunakan banyak kawat, tanpa menggunakan lem jadi insyaallah lebih kuat,” jelas Eva.


 
Produknya ini lebih mengangkat ke etnik. Batu-batu alam digunakan. Tak seperti di pasar yang pabrikan bentuknya sama semua.

"Kalau saya beda-beda karena handmade. Bordir Aceh kita pakai. Kita juga pakai batu alam dari pedalaman Aceh dan ambil dari pengrajin Aceh juga, jadi bisa terbentuk kerja sama,” jelasnya.
 
Sayangnya, usaha kerajinannya ini harus terhambat akibat pandemi covid-19. Ia mengakui bahwa kondisi ini begitu berat, sehingga ia harus memutar otak agar aksesorisnya masih bisa diterima oleh masyarakat.
 


“Tapi kami tak harus kehilangan ide, awalnya sempat banting setir sedikit karena kebutuhan masker. Tapi dengan tak meninggalakan aksesoris. Jadi saya buat promo beli masker minimal berapa, saya gratiskan masker. Begitu juga sebaliknya. Biar tetap berjalan,” lanjut Eva.
 
Walaupun sempat terpuruk, Eva tidak patah semangat. Ia bangkit dari segala cobaan untuk mempertahankan usaha yang ia tekuni.
 

3. Natalia Tjahja, Meracik Makanan untuk Para Tim Medis Covid-19


Pandemi covid-19 mendorong masyarakat untuk bergerak saling membantu. Hal ini terlihat dari aksi meracik menu untuk tim medis covid-19 yang dibuat oleh Natalia Tjahja, Pendiri Yayasan Lembaga Kemanusiaan lewat program Asia Cooking Journeys.
 
Dalam program ini, Natali mengajak para chef dan home cook untuk berbagi racikan masakan mereka pada para tenaga medis dan penyandang disabilitas. Ini adalah bentuk apresiasi para pejuang medis yang berjibaku menangani pasien covid-19.

“Aksi mulia ini dilakukan berkelanjutan dalam menghadapi covid-19. Asia cooking journey itu artinya dengan satu prosi makanan yang dimasak oleh chef atau homecook dan masakan tersebut diberikan pada para medis atau kepada orang difabel dan diadakan di setiap weekend,” ungkapnya dalam acara Selamat Pagi Indonesia Metro TV.


 
Saat akhir pekan tersebut makanan akan dikirimkan melalui ojek online untuk disampaikan pada para tim medis yang sedang berjuang. Aksinya ini mendapat apresiasi dari para tim medis yang menangani covid-19.

“Kita mengucapkan terima kasih kepada Cooking Journeys dan restoran-restoran yang memberikan makanan pada kami dokter jaga,” ujar seorang tenaga medis, Angela.
 
Telah ada puluhan chef dari berbagai restoran yang menyalurkan makanan ke delapan rumah sakit di seluruh Indonesia. Sejak 25 april 2020, Asia Cooking Journey telah menyebar di berbagai negara di tiga benua.
 

4. Novianty Elizabeth, Berjuang Mendirikan Sekolah Modern dan Berkulitas dengan Biaya Terjangkau


Pendidikan yang modern pada umumnya hanya bisa dirasakan oleh kalangan menengah atas, mengingat biayanya yang tidak murah. Akan tetapi, Novianty Elizabeth sebagai pendiri Sekolah Putra Pertiwi, di kawasan Pondok Cabe bisa mewujudkan hal tersebut.

Berawal dari mimpinya untuk menciptakan pendidikan yang modern dan relatif terjangkau untuk kalangan menengah, ia mendirikan Sekolah Putra Pertiwi pada tahun 1997 di kawasan Pondok Cabe, Tangerang.

Pada tahun tersebut, di kawasan Pondok Cabe belum ada Taman Kanak-kanak modern yang sudah memperkenalkan komputer dan Bahasa Inggris.
 


“Putra Pertiwi berdiri mulai tahun 1997 dan memulai tahun ajaran pada 1998/1999 dimulai dari unit sekolah Taman Kanak-kanak. Pada saat itu di daerah pondok cabe belum ada Taman Kanak-kanak modern yang sudah memperkenalkan komputer dan Bahasa Inggris," buka Novi.

"Orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke taman kanak-kanak dan playgroup modern harus ke daerah terdekat Jakarta Selatan dan biaya sekolah di daerah tersebut juga relatif lebih mahal. Bahkan ada yang menggunakan mata uang Dolar sebagai biaya sekolah,” tutur Novi.

Ia juga bercerita bahwa selain hal tersebut, ketertarikan timbul juga karena dirinya sering melihat hal-hal yang menyangkut pendidikan dan dinamika persekolahan utamanya dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.



“Saya sering menjadi pengurus POMG sebagai wadah persatuan orang tua murid dan guru, tetapi pendapat dan saran saya sering kali tidak diakomodir oleh sekolah ketika itu,” kata Novi.

“Banyak suka duka yang dialami, awalnya banyak tantangan dari mulai membangun gedung sekolah yang awalnya sebuah rumah dan direnovasi menjadi sekolah Taman Kanak-kanak,” ujar salah satu dosen Pascasarjana di Universitas Jayabaya ini.

Selama Sekolah Putra Pertiwi berdiri sudah banyak penghargaan yang didapat baik prestasi akdemik maupun prestasi non akademik. Semua penghargaan piala diletakkan lemari kaca dikoridor kelas sebagai bentuk apresiasi kepada siswa maupun guru yang telah berprestasi.

Selain itu untuk guru dan kepala sekolah juga pernah mendapatkan penghargaan, sekolah Putra Pertiwi pernah mendapatkan juara lomba perpustakaan tingkat Banten, dan baru baru ini mendapat penghargaan Adiwiyata Sekolah Berwawasan Lingkungan.
 
Pesan Novi sebagai pendidik selama PJJ bahwa dia banyak mendengar keluh kesah orang tua saat belajar dari rumah ini, di mana mereka keberatan dengan banyaknya tugas dan harusnya setiap hari mendampingi anak belajar dari rumah.

"Sebenarnya ini momentum yang tepat saatnya siswa memerdekakan diri mencari ilmu yang diperlukan sesuai dengan minatnya,” kata Novi.
 


“Orang tua menguatkan kedudukannya sebagai pemilik utama anak yang harus mempunyai kontribusi langsung dan bekerja sama dengan pendidik di sekolah dalam penyelenggaraan pembelajaran di sekolah,” tambahnya.

Ia juga menegaskan bahwa dukungan orang tua sangatlah berharga seperti menyiapkan perangkat pembelajaran online, mendampingi anak belajar di rumah, mengomunikasikan kendala guru kendala yang ditemui saat mendampingi anak belajar dirumah. Sehingga proses belajar tetap kondusif walaupun dari rumah.
 

5. Lilis Salsiah, Sukses Ternak Ikan Cupang di Tengah Pandemi Covid-19


Ternak ikan cupang menjadi tren yang populer di masyarakat, khususnya di tengah pandemi covid-19. Di Cianjur, Jawa Barat, seorang perempuan muda mantan karyawati di sebuah pabrik kini sukses bisa meraup untung jutaan rupiah dari beternak ikan cupang.

Lilis Salsiah, seorang perempuan mudah berusia 28 tahun asal Kampung Jero, Desa Maleber, Kecamatan Karangtengah, Cianjur, Jawa Barat, sukses beternak ikan cupang. Lilis menjadi salah satu orang yang terdapak pandemi covid-19. Mantan karyawati pabrik ini memilih berhenti bekerja dan mencoba beternak ikan cupang untuk dijadikan usaha barunya.

Mulai dari sepasang ikan cupang yang ia beli dari seorang teman, kini koleksi ikan cupang di rumahnya begitu beragam. Dengan jenis, corak, dan warna yang bervariasi. Hingga kini, beternak ikan cupang menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan bagi Lilis.

Ia mempromosikan koleksi ikan cupangnya melalui media sosial Instagram dan juga Facebook. Para penjual atau para penggemar pemula ikan cupang dari luar daerah banyak yang memesan ikan cupang darinya.



"Awalnya ada teman juga yang ternak cupang, terus saya coba nge-breed gitu dari cupang yang murah sampai yang mahal. Sekarang sudah alhamdulillah, sudah menghasilkan uang yang cukuplah buat seorang perempuan. Meskipun belum menikah. Jadi cuma coba-coba saja sih dulu, tapi sekarang alhamdulillah sudah banyak reseller yang ke sini," tutur Lilis.

Harga ikan cupang yang dimiliki Lilis saat ini berkisar dari harga Rp20.000 hingga Rp500.000 per ekor. Jenisnya mulai dari Super Red, hingga yang termahal yakni jenis Avatar. Sementara untuk bibit ikan cupang, ia jual seharga Rp10.000 - Rp20.000 per ekor tergantung dari jenis ikan cupang itu sendiri.

Tak heran dari hasil beternak ikan cupang, Lilis mampu meraup kentungan hingga jutaan rupiah. Bahkan ia akui penghasilan dari usaha ikan cupangnya ini, sudah melebihi dari gajinya saat ia masih bekerja sebagai karyawati pabrik.

Menurut Lilis, dalam waktu kurang dari satu tahun Lilis sudah sangat mengerti cara beternak ikan cupang dengan benar. Bahkan, ia mampu melakukan kawin silang jenis cupang untuk menghasilkan gen dan corak ikan cupang yang lebih maksimal.

"Sekarang sih lagi mencoba kawin silang, jenis Nemo Galaxy sama Rose Tail. Hasilnya belum tahu, tapi cuma berapa persen doang sih yang dominan ke indukannya,” ujar Lilis.

Cara beternak ikan cupang, menurut Lilis, tidak sulit namun juga tidak mudah. Sebab menurutnya, ikan cupang rentan terkena virus di musim pancaroba sehingga membutuhkan perhatian khusus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(FIR)

MOST SEARCH