BEAUTY
Dermatolog Tekankan Pentingnya Penggunaan Obat yang Aman dan Legal untuk Kesehatan Kulit
A. Firdaus
Sabtu 15 November 2025 / 09:15
Jakarta: Toxin botulinum (botox) sebenarnya adalah obat, bukan hanya produk kecantikan. Obat ini digunakan oleh dokter spesialis anak, dokter saraf, dan dokter lainnya untuk mengobati kondisi medis seperti penyakit reaktif, bukan hanya untuk estetik.
Di bidang kecantikan, toxin digunakan untuk mengurangi kerutan dengan cara menghentikan sinyal saraf ke otot, sehingga otot tidak berkontraksi dan kulit terlihat lebih halus.
“Sebenarnya kalau yang ibu-ibu mungkin udah agak-agak paham, tapi sebenarnya kita mungkin harus tahu dulu bahwa toxin itu sebenarnya adalah obat,” ujar dr. Anesia Tania, dermatologis dalam acara “Leading the Collaboration for Patient Safety, Healthcare Professional Regulation Compliance, and Prevention of Illegal Drug Distribution, Daewoong Group and BPOM” yang diselenggarakan di 25hours Hotel Jakarta, Kamis (13/11/25).
Namun, dr. Tania menegaskan bahwa penggunaannya harus berdasarkan kebutuhan medis, bukan sekadar tren. Ia membahas bahaya produk estetik ilegal, terutama toxin botulinum yang sering digunakan untuk perawatan kecantikan.
Ia menyoroti bagaimana media sosial dan budaya visual mempengaruhi permintaan produk ini, serta risiko kesehatan yang bisa timbul jika tidak menggunakan produk yang resmi.
Menurut dr. Tania, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Reels memainkan peran besar dalam meningkatkan permintaan toxin.
Orang Indonesia adalah pengguna media sosial terbesar, dan sering terpapar dengan gambar-gambar perawatan estetik dari Korea Selatan. Akibatnya, bahkan anak muda berusia 21 tahun pun merasa perlu menggunakan toxin, padahal dulu hal ini dianggap aneh.
Dengan permintaan yang tinggi, penawaran produk toxin pun meningkat. dr. Tania mengatakan bahwa toxin sekarang tersedia di klinik, salon, bahkan layanan home service. Hal ini memicu perang harga, di mana produk dijual murah.
“Kalau harganya murah, kadang-kadang kita telusuri karena agak curiga, kenapa nih, apakah obatnya tidak legal, atau mungkin produk palsu,” pungkasnya.
Risiko utamanya adalah produk ilegal, palsu, atau didapat dari distributor yang tidak resmi. Selain itu, penyuntikan harus dilakukan oleh dokter yang kompeten, bukan perawat atau orang lain karena di Indonesia hanya dokter yang boleh melakukannya.
Dokter Tania merujuk pada data BPOM yang menemukan 91 merek kosmetik ilegal, di mana 60% adalah produk impor. “Dan sekitar 60% itu produk impor. Jadi, sayang sekali belum ada produk lokal untuk toxin,” katanya.
Sekitar 85% produk kosmetik di pasar berpotensi ilegal atau tidak terdaftar. BPOM telah menertibkan banyak produk, baik online maupun offline dalam 1-2 tahun terakhir.
Produk toxin harus diproduksi di tempat yang bersertifikat, didistribusikan dengan benar, dan menjaga suhu serta kondisi penyimpanan (cold chain).
Bagi dokter, menggunakan produk ilegal bisa berujung pada sanksi dari BPOM, seperti penutupan klinik atau hilangnya kepercayaan. Dokter juga tidak bisa melaporkan efek samping ke distributor resmi jika produknya ilegal.
Pasien sering tidak sadar membeli produk ilegal karena harga murah atau rekomendasi teman. Mereka mungkin membeli sendiri dan meminta disuntik di rumah, yang sangat berbahaya.
Dokter Tania menekankan bahwa masalah ini perlu diatasi bersama. Produsen harus menjaga kualitas dan distribusi resmi. Dokter harus menggunakan produk asli, mendidik pasien tentang risiko, dan mencatat batch serta nomor vial untuk pelacakan.
Pasien harus lebih waspada, misalnya dengan memeriksa QR code untuk memastikan keaslian produk. Media juga berperan dalam edukasi karena semua orang bisa menjadi pasien. BPOM dan pemerintah harus terus menegakkan hukum dan mendukung kampanye verifikasi nasional.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Di bidang kecantikan, toxin digunakan untuk mengurangi kerutan dengan cara menghentikan sinyal saraf ke otot, sehingga otot tidak berkontraksi dan kulit terlihat lebih halus.
“Sebenarnya kalau yang ibu-ibu mungkin udah agak-agak paham, tapi sebenarnya kita mungkin harus tahu dulu bahwa toxin itu sebenarnya adalah obat,” ujar dr. Anesia Tania, dermatologis dalam acara “Leading the Collaboration for Patient Safety, Healthcare Professional Regulation Compliance, and Prevention of Illegal Drug Distribution, Daewoong Group and BPOM” yang diselenggarakan di 25hours Hotel Jakarta, Kamis (13/11/25).
Namun, dr. Tania menegaskan bahwa penggunaannya harus berdasarkan kebutuhan medis, bukan sekadar tren. Ia membahas bahaya produk estetik ilegal, terutama toxin botulinum yang sering digunakan untuk perawatan kecantikan.
Ia menyoroti bagaimana media sosial dan budaya visual mempengaruhi permintaan produk ini, serta risiko kesehatan yang bisa timbul jika tidak menggunakan produk yang resmi.
Menurut dr. Tania, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Reels memainkan peran besar dalam meningkatkan permintaan toxin.
Orang Indonesia adalah pengguna media sosial terbesar, dan sering terpapar dengan gambar-gambar perawatan estetik dari Korea Selatan. Akibatnya, bahkan anak muda berusia 21 tahun pun merasa perlu menggunakan toxin, padahal dulu hal ini dianggap aneh.
Dengan permintaan yang tinggi, penawaran produk toxin pun meningkat. dr. Tania mengatakan bahwa toxin sekarang tersedia di klinik, salon, bahkan layanan home service. Hal ini memicu perang harga, di mana produk dijual murah.
“Kalau harganya murah, kadang-kadang kita telusuri karena agak curiga, kenapa nih, apakah obatnya tidak legal, atau mungkin produk palsu,” pungkasnya.
Risiko utamanya adalah produk ilegal, palsu, atau didapat dari distributor yang tidak resmi. Selain itu, penyuntikan harus dilakukan oleh dokter yang kompeten, bukan perawat atau orang lain karena di Indonesia hanya dokter yang boleh melakukannya.
Dokter Tania merujuk pada data BPOM yang menemukan 91 merek kosmetik ilegal, di mana 60% adalah produk impor. “Dan sekitar 60% itu produk impor. Jadi, sayang sekali belum ada produk lokal untuk toxin,” katanya.
Sekitar 85% produk kosmetik di pasar berpotensi ilegal atau tidak terdaftar. BPOM telah menertibkan banyak produk, baik online maupun offline dalam 1-2 tahun terakhir.
Produk toxin harus diproduksi di tempat yang bersertifikat, didistribusikan dengan benar, dan menjaga suhu serta kondisi penyimpanan (cold chain).
Risiko bagi dokter dan pasien
Bagi dokter, menggunakan produk ilegal bisa berujung pada sanksi dari BPOM, seperti penutupan klinik atau hilangnya kepercayaan. Dokter juga tidak bisa melaporkan efek samping ke distributor resmi jika produknya ilegal.
Pasien sering tidak sadar membeli produk ilegal karena harga murah atau rekomendasi teman. Mereka mungkin membeli sendiri dan meminta disuntik di rumah, yang sangat berbahaya.
Solusinya apa?
Dokter Tania menekankan bahwa masalah ini perlu diatasi bersama. Produsen harus menjaga kualitas dan distribusi resmi. Dokter harus menggunakan produk asli, mendidik pasien tentang risiko, dan mencatat batch serta nomor vial untuk pelacakan.
Pasien harus lebih waspada, misalnya dengan memeriksa QR code untuk memastikan keaslian produk. Media juga berperan dalam edukasi karena semua orang bisa menjadi pasien. BPOM dan pemerintah harus terus menegakkan hukum dan mendukung kampanye verifikasi nasional.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)