Jakarta: Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 9 November 2020.
Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan kuasa hukum terdakwa.
Dalam sidang tersebut, Napoleon mengaku dizalimi oleh pejabat negara atas perkara yang menjeratnya. Ia tidak mengungkapkan secara gamblang siapa pejabat negara yang dimaksud.
Napoleon pun menyatakan siap membuktikan salah tuduhan soal penerimaan uang sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," tegas Napoleon dalam persidangan.
"Tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," lanjutnya.
Napoleon diadili atas kasus penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Ia berpendapat bahwa DPO bukan merupakan kewenangannya selaku mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri.
Lagi pula, menurutnya, status red notice atas nama Djoko Tjandra nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai lembaga peminta.
Dalam perkara ini, Napoleon didakwa menerima suap sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu atau sekitar Rp6 miliar dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. ANTARA Foto/Sigid Kurniawan Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News