Walaupun target ini dinilai ambisius karena masih banyaknya jumlah pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, studi oleh International Energy Agency (IEA) bersama Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia dapat mencapainya dengan pengadaan sumber daya energi terbarukan, elektrifikasi efisiensi energi, dan interkoneksi jaringan.
Pemerintah telah menyiapkan rencana dekarbonisasi yang konkret melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang disebut sebagai RUPTL terhijau sepanjang sejarah.
Dalam perencanaan itu, energi terbarukan akan berkontribusi sebesar 21GW (gigawatt) dari total penambahan daya. Selain itu, pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan proyek pembangkit listrik 35GW dengan beberapa penyesuaian seperti target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan rencana penutupan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Kedepannya, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan langkah-langkah yang lebih ketat seperti pajak karbon dan langkah-langkah terkait dekarbonisasi lainnya kepada perusahaan tambang batu bara sebagai bagian dari rencana dekarbonisasi.
Baca juga: Ambisi Luhut Capai Net Zero Emission |
"Emisi nol bersih merupakan tolak ukur dekarbonisasi yang patut dicapai secara kolektif sehingga tidak menambahkan emisi baru di atmosfer. Untuk mencapainya, terdapat beberapa jalur yang dapat ditempuh, yaitu energi bersih dan elektrifikasi, penggunaan bahan new age dan mineral baterai, serta ekonomi sirkular dan efisiensi energi," kata Senior Equity Researcher DBS Group William Simadiputra dalam keterangan tertulis, Rabu, 28 Juni 2023.
Menurutnya, kolaborasi berbagai pihak merupakan kunci untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan Indonesia bebas emisi karbon pada 2060 dan mewujudkan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Di samping itu, dalam upaya untuk mencapai emisi nol bersih 2060, Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga telah berkomitmen untuk menambahkan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT atau New and Renewable Energy) sebesar 40,6GW pada 2030.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat secara tahunan sebesar 4,9 persen berdasarkan atas data dalam RUPTL PLN.
Lebih dari 50 persen pembangkit EBT tersebut akan terdiri dari komponen terbarukan, yakni 26 persen hydro, 12 persen solar, delapan persen energi panas bumi atau geotermal, empat persen dari energi terbarukan lainnya, serta dua persen campuran energi terbarukan lainnya dan gas.
"Transisi dari energi konvensional menuju ke energi yang lebih hijau memang membutuhkan waktu. Tantangan yang dihadapi oleh industri dalam melakukan transisi energi adalah keamanan pasokan, keberlanjutan, serta keterjangkauan harga," jar Executive Director, Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Heru Hatman.
Oleh karena itu, kontribusi yang dapat diberikan oleh industri perbankan adalah dengan memberikan pembiayaan berupa green loans atau bonds, sustainability-linked loans atau bonds, serta transition loans atau bonds.
"Sebagai purpose-driven bank, kami senantiasa mendorong transition financing, pada 2022 Bank DBS Indonesia telah menyalurkan pendanaan sebesar Rp2 triliun untuk membantu sejumlah korporasi dalam bertransisi," sebut Heru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News