Komitmen Indonesia yang diperbarui untuk memajukan ekonomi biru menjadi titik balik penting bagi arah ekonomi Asia Tenggara.
Komitmen Indonesia yang diperbarui untuk memajukan ekonomi biru menjadi titik balik penting bagi arah ekonomi Asia Tenggara.

Gelombang Baru Ekonomi Biru Indonesia jadi Peluang Emas untuk Investasi Berbasis ESG

Arif Wicaksono • 04 Desember 2025 10:26
Jakarta: Komitmen Indonesia yang diperbarui untuk memajukan ekonomi biru menjadi titik balik penting bagi arah ekonomi Asia Tenggara, dengan dampak yang luas mulai dari aliran investasi berbasis ESG, ketahanan rantai pasokan, hingga penemuan baru dalam inovas  kelautan. 
 
"Indonesia kini memasuki era di mana pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan tidak lagi menjadi prioritas yang bertentangan," ujar Kepala APAC di EBC Financial Group Samuel Hertz.  
 

Dia menjelaskan ekonomi biru menyatukan keduanya dengan cara yang berpotensi mengubah cara Indonesia berhubungan dengan investor global, pasar iklim, dan sistem perdagangan regional.
 
Dengan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kepulauan terbesar di bumi, serta salah satu kekayaan biodiversitas laut terkaya, Indonesia berada pada posisi yang sangat strategis untuk menjadikan lautan sebagai pendorong utama ekonomi.

Karbon Biru 

Indonesia memiliki sebagian besar hutan mangrove terbesar di dunia serta ekosistem padang lamun yang luas.  Keduanya mencakup sekitar 3,4 juta hektar, yang menyumbang sekitar 20% dari total luas mangrove global, dan memiliki kemampuan menyerap CO₂ yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan hutan daratan.
 
Ekosistem ini memiliki potensi besar sebagai aset iklim, yang bisa menjadi fondasi bagi pasar blue carbon global yang semakin penting sehingga berperan vital dalam membantu perusahaan dan investor memenuhi target dekarbonisasi yang semakin ketat.

Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan kerangka tata kelola yang kredibel, sistem pemantauan yang konsisten, dan perlindungan yang kuat di tingkat komunitas. 
 
Kredibilitas dari struktur-struktur ini akan menentukan apakah Indonesia dapat mengubah sumber daya karbon alami ini menjadi aset iklim yang dapat diperluas, atau apakah blue carbon akan tetap menjadi peluang yang belum berkembang.

Bangkitnya Blue-Tech

Inovasi semakin menjadi kekuatan pendorong utama bagi ekonomi biru Indonesia. Pada tahun 2024, produksi rumput laut Indonesia mencapai 10,80 juta ton, naik 10,82% dibandingkan tahun sebelumnya, dan Indonesia kini menyuplai sekitar 38% dari total produksi rumput laut dunia. 
 
Meskipun demikian, hanya sekitar 11,65% dari total potensi lahan budidaya yang digunakan saat ini membuka peluang besar untuk ekspansi dan pengembangan produk hilir bernilai tambah, seperti bioplastik, pupuk, dan nutraseutikal.
 
Bioteknologi laut juga menawarkan peluang dalam pengembangan obat-obatan dan material ramah lingkungan yang dihasilkan dari kekayaan keanekaragaman hayati laut Indonesia.
 
Di sisi lain, akuakultur berbasis teknologi berkembang pesat untuk memenuhi tuntutan akan ketertelusuran, ketahanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan. Inisiatif pelabuhan cerdas dan digitalisasi logistik maritim semakin menggarisbawahi ambisi Indonesia untuk mengadopsi inovasi dalam sektor-sektor yang sebelumnya lebih konvensional.
 
Gabungan antara ukuran pasar, inovasi, dan potensi yang belum tergali ini menempatkan Indonesia tidak hanya sebagai pengekspor bahan mentah, tetapi juga sebagai pusat global untuk pengembangan teknologi berkelanjutan yang berfokus pada kelautan.
 
Posisi geografis Indonesia memberikan keunggulan strategis di tengah perubahan besar dalam rantai pasokan global. Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, pergeseran aliran energi, dan fragmentasi perdagangan yang mempengaruhi logistik dunia, Indonesia kini muncul sebagai pusat maritim kunci di Asia Tenggara.
 
Perkembangan ekonomi biru Indonesia dapat mendorong pembentukan koridor pelayaran baru, khususnya rute-rute melalui Selat Malaka dan jalur alternatif di bagian timur kepulauan. Proyek energi terbarukan berbasis laut juga berpotensi mengubah distribusi energi di kawasan ini, sementara perhatian ASEAN terhadap pembiayaan blue-carbon menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam pengelolaan laut di tingkat regional.
 
Ditambah lagi, dampak ekonomi sudah mulai dirasakan oleh komunitas pesisir. Pendapatan rata-rata rumah tangga pesisir dan petani rumput laut di wilayah produksi meningkat sekitar 4,55% pada 2024, mencerminkan perkembangan dalam sektor akuakultur dan peningkatan produktivitas. Ini membuktikan bahwa ekonomi biru dapat mendorong keberlanjutan sekaligus menciptakan peluang inklusi sosial.

Proyeksi EBC

Analis EBC memandang ekonomi biru Indonesia sebagai sebuah transformasi struktural yang akan berlangsung selama beberapa dekade, yang dibentuk oleh tiga pilar utama. Pertama, kredibilitas kebijakan di pasar karbon biru akan menjadi faktor penentu apakah Indonesia dapat menarik pembiayaan ESG global dan membangun reputasinya sebagai pemimpin dalam solusi iklim berbasis alam. 
 
Kedua, inovasi dalam bioteknologi kelautan, pengolahan rumput laut, dan akuakultur berkelanjutan akan membantu memperluas sumber daya ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah. Ketiga, peningkatan infrastruktur maritim dan sistem logistik akan memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur perdagangan yang berkembang di Asia Tenggara.
 
"Ekonomi biru memiliki potensi untuk mendefinisikan ulang posisi Indonesia di pasar global bukan hanya sebagai eksportir komoditas, tetapi sebagai pemimpin dalam keberlanjutan dan inovasi," tambah Hertz.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan