Ekonom Senior Raden Pardede mengatakan, salah satu ketimpangan yang terjadi antara bisnis besar dan bisnis kecil atau UMKM. Dirinya menyebutkan usaha besar jumlahnya hanya 0,7 persen dari usaha yang ada di Indonesia, namun nilai tambahnya 89 persen. Sedangkan usaha kecil jumlahnya 95 persen namun nilai tambahnya hanya lima persen.
"Itu adalah ketimpangan," kata Raden dalam acara seminar nasional bertajuk Indonesia menuju ekonomi berkeadilan di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa 30 Mei 2017.
Ketimpangan tersebut bisa dilihat dari hanya sejumlah kecil usaha yang dominan dan berhasil menguasai pasar, mendapatkan akses keuangan yang bagus, dan didukung teknologi yang memadai. Sedangkan sebagian besar UMKM tak punya akses tersebut. UMKM secara umum punya kelemahan yaitu akses pembiayaan dan teknologi. Adanya gap dalam akses ini membuat UMKM tertindas.
"Usaha besar menerima 80 persen kredit," ujar dia.
Oleh karenanya, agar ketimpangan tak terjadi, maka harus dihilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi UMKM. Misalnya dalam sisi biaya, ketika mengurus administrasi penanaman modal antara usaha besar dan UMKM ongkosnya sama. Seharusnya dibedakan. Lalu pajaknya, menurut Raden harus diturunkan tarifnya.
Kemudian mengenai value chain atau nilai pasok juga harus dibenahi. Seperti di Jepang, usaha yang besar harus bisa menolong yang menengah dan kecil untuk mendapatkan akses perbankan.
"Yang besar umumnya enggak menguasai yang kecil-kecil, tapi di tengah ada layer-layer, jadi akses pada perbankan menjadi baik. Jadi jalin menjalin ke atas. Kecenderungan di Indonesia itu sendiri-sendiri," tutur Raden.
Lebih jauh dia menambahkan, peran pemerintah sangat penting dalam mengatasi ketimpangan bisnis di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dia anggap sudah cukup berhasil yakni one stop policy atau kebijakan satu pintu. Namun sayangnya, itu baru efektif di pusat, belum di daerah. Maka dibutuhkan kerja sama pula antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News