Menko Perekonomian Darmin Nasution. (FOTO: ANTARA/Sigid Kurniawan)
Menko Perekonomian Darmin Nasution. (FOTO: ANTARA/Sigid Kurniawan)

Sejak Merdeka, Indonesia Belum Bangun Mekanisme Strategi Sektor Perkebunan

Annisa ayu artanti • 02 Maret 2017 14:49
medcom.id, Jakarta: Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan sejak merdeka, Indonesia belum bisa membangun mekanisme strategi dan sinergi dalam sektor perkebunan. Selama ini, sektor perkebunan Indonesia masih dinilai sangat standar dan masih sebatas skala usaha kerakyatan saja.
 
"Kelihatannya, kita sejak merdeka pun belum berhasil membangun satu mekanisme dan sinergi dalam perekonomian kita. Sehingga yang terjadi adalah perkebunan itu kental dengan standar dan skala usaha rakyat," kata Darmin di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis 2 Maret 2017.
 
Darmin menjelaskan, kebanyakan dari para pekebun di Indonesia hanya terpaku pada pemberian program pemerintah untuk berkembang. Padahal, jika mengandalkan proyek dari pemerintah, negeri ini tidak akan sanggup.

"Terus terang kita terjebak dengan semuanya harus program pemerintah. Harus pakai proyek pemerintah. Negeri ini tidak akan sanggup dengan itu," ujar dia.
 
Yang harus menjadi konsentrasi saat ini adalah bagaimana membangun mekansisme dan strategi agar sektor perkebunan ini berkembang. Darmin menyebutkan, pertama yang harus didorong dan dimaksimalkan adalah pembibitannya. Tanpa bibit yang berkualitas hasil perkebunan juga tidak akan maksimal.
 
Kedua, terkait dengan pendanaan. Pendanaan tidak bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata. Beban bisa dipikul dari semua pihak yaitu petani, pekebun, dan pemerintah.
 
"Kita harus ubah paradigma kita soal ini. Saya tidak percaya rakyat menunggu bagi-bagi bibit. Mereka bisa beli, walaupun kalau tidak penuh komersial, bisa subsidi pemerintah," sebut dia.
 
Ketiga adalah sisi pemasaran. Ini menjadi poin penting karena hasil perkebunan juga harus dijual. Namun yang ditekankannya saat ini Indonesia masih mengandalkan ekspor hasil kebun mentahan tanpa diolah. Hal itu menurutnya justru menurunkan nilainya.
 
"Ketiga, tentu saja adalah pasca-menghasilkan. Kita terus terang sjaa, selama puluhan tahun ini masih terlalu banyak andalkan ekspor mentah-mentah. Sudah harga dan nilai tambah tidak bagus," jelas dia.
 
Ia melanjutkan, seperti komoditas kayu manis. Indonesia tidak bisa melakukan standardisasi kayu manis. Padahal hampir 70 persen kebutuhan kayu manis dunia berasal dari Indonesia. Akhirnya, secara mentah-mentah kayu manis diekspor ke Singapura. Kemudian Singapura mengolahnya dan dijual kembali dengan harga lebih tinggi.
 
"Kalau di Indonesia, kayu manis dijemur biasa, tapi perlu Singapura yang standardidasi. Setelah itu dia bikin standar dan merek. Harga naik tiga kali lipat dari yang kita jual," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan