"Di 2019 ini prediksi pertumbuhan premi asuransi umum akan mencapai 14 persen dibandingkan dengan di 2018. Sedangkan prediksi 2020, premi asuransi umum akan tumbuh 17 persen," kata Ketua Umum AAUI Dadang Sukresna, di Le Meridien Hotel, Jakarta, Kamis, 21 November 2019.
Menurut Dadang ada beberapa fakor yang mendorong pertumbuhan industri asuransi umum Indonesia. Pertama, prediksi Bank Indonesia (BI) mengenai pertumbuhan ekonomi yakni 5,1-5,5 persen, Produk Domestik Bruto (PDB) 5,1-5,5 persen, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp13.900 hingga Rp14.300 per USD, dan inflasi 3+-1 persen.
Kedua, pada 2020 pertumbuhan investasi yang dalam hal ini Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di angka 7-7,4 persen. Angka kebutuhan investasi pada rentang Rp5.802–Rp5.823 triliun (prediksi Menteri Keuangan). Ketiga, pertumbuhan ekspor sebesar 5,5-7 persen, dengan sektor pertanian diperkirakan tumbuh empat persen.
"Industri manufaktur tumbuh hingga lima persen dan perdagangan tumbuh hingga 5,8 persen," ungkap Dadang.
Keempat, kelanjutan proyek infrastruktur dan rencana pemindahan ibu kota yang akan mendorong kinerja sektor konstruksi dan properti. Kelima Pertumbuhan ekonomi digital akan naik pesat hingga USD100 miliar pada 2025 turut berpengaruh pada prospek ekonomi Indonesia ke depan.
Sementara itu, Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, stabilitas sektor jasa keuangan dalam kondisi terjaga di tengah tingginya ketidakpastian perekonomian global. Hal tersebut terlihat dari sektor jasa keuangan domestik yang mencatatkan pertumbuhan positif.
"Dengan intermediasi yang stabil dan profil risiko lembaga jasa keuangan yang terjaga," ujar Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis OJK Anto Prabowo.
Sejalan dengan itu, Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 323 persen dan 684 persen atau jauh di atas ambang batas ketentuan. Dalam konteks ini, OJK senantiasa memantau dinamika perkembangan ekonomi global.
"Dan berupaya memitigasi dampak kondisi yang unfavourable terhadap kinerja sektor jasa keuangan domestik, terutama terkait dengan profil risiko likuiditas dan risiko kredit," pungkas Anto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News