"Lobster itu dalam pelaksanaannya, hanya tumbuh, jadi hidup itu dari total yang ada itu enggak lebih dari satu persen. Bahkan ada yang hitung 0,25 persen," kata dia ditemui di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Desember 2019.
Dirinya menambahkan, negara lain justru bisa mengembangkan lobster untuk bisa dibudidayakan. Edhy menyebutkan Indonesia bisa meniru Vitenam yang telah melakukan budidaya sehingga mendapat nilai tambah.
"Ada metode yang bisa besarkan lobster ini, bisa tumbuh sampai 70 persen. Kenapa enggak kita coba? Vietnam sudah lakukan. Ada memang yang enggak sampai 70 persen tapi kan ada upaya untuk itu. Dan nilai tambahnya untuk apa? Untuk yang menangkap benih lobster ini juga dapat, bisa meneruskan pendapatannya," jelas dia.
Bukan hanya soal budidaya untuk alasan ekonomi, Edhy menyebut, upaya ini bisa mempertahankan lobster tetap ada. Misalnya dengan melepas kembali sebagian dari benih lobster yang sudah dibudidayakan, sehingga tidak menganggu ekosistem alam.
"Atau kalau misal enggak bisa kita kasih kuota ke luar (ekspor). Ini kan baru masukan-masukan. Nah dari semua yang dibudidaya, lima persennya kita kembalikan lagi ke alam setelah umur berapa begitu, mungkin tiga sampai empat bulan. Ini yang menurut kami akan mempertahankan sustainability dia," ungkapnya.
Meski begitu, dirinya mengaku ekspor benih lobster masih sebatas rencana. Perlu kajian yang lebih dalam dari berbagai stakeholder, terlebih Edhy mengklaim ada 29 aturan dari menteri terdahulu yang menimbulkan polemik sehingga harus ditinjau kembali.
Aturan soal benih lobster sebelumnya tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Selain itu ada pula Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan Dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan Dari Wilayah Negara Republik Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News