Ilustrasi. (Foto: MI/Aries).
Ilustrasi. (Foto: MI/Aries).

Satu Suara Samakan Persepsi soal Bawang Putih

Dian Ihsan Siregar • 26 April 2018 07:04
Jakarta: Wakil Ketua Komisi IV DPR, Michael Wattimena menilai ada ego sektoral antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita terkait kebijakan impor bawang putih.
 
Dia menyebut ada peraturan berbeda yang dikeluarkan oleh menteri, yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16/2017 tanggal 15 Mei 2017 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30/2017 tertanggal 17 Mei 2017.
 
"(Peraturan Mentan dan Mendag) Berbeda dua hari, menurut hemat kami konten tidak begitu mendukung kegiatan dua kementerian yang ada," kata Wattimena, dalam keterangan resminya, Kamis, 26 April 2018.

Menurut dia, dalam Permendag mengatur dan mendata lalu lintas impor dan distribusi produk hortikultura, termasuk bawang putih. Sedangkan, Permentan mewajibkan para impotir melakukan pengembangan penanaman bawang putih dalam negeri dengan ketentuan bisa menghasilkan lima persen dari volume permohonan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) per tahun.
 
Baca: Importir Kritik Kebijakan Wajib Tanam Bawang Putih
 
Bila RIPH itu terpenuhi, maka para importir dibolehkan mengimpor bawang putih. Sedangkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak demikian. Sebab, impor harus mempertimbangkan produksi dalam negeri atau keberadaan bawang putih di pasaran.
 
"Kalau memang seperti ini maka menjadi sebuah kesulitan yang sistematis teman-teman importir," ujarnya.
 
Kemudian, melihat konsumsi dalam negeri, yang begitu besar, dia meminta sedianya dua kementerian itu duduk bersama untuk membahas masalah ini. Tujuannya adalah agar tidak ada lagi kebijakan yang saling bertentangan.
 
"Saya tidak memihak kepada Kementan atau pun Kemendag, tetapi coba dicari formatnya supaya ada win-win solution dan tidak ada ego sektoral. Kalau mau ikuti emosi, kami akan berpihak pada Kementan. Tapi kita juga tidak mengabaikan kebutuhan masyarakat ke depan yang cukup signifikan," ungkap dia.
 
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Muladi mengaku telah menerima para pedagang bawang putih yang mengeluh tidak pernah menjual bawang putih lokal. Namun, mereka juga kesulitan untuk menjual bawang putih impor karena pasokan di pasar tidak ada.
 
"Petani itu menanam tanaman inginnya untung karena bawang putih ini termasuk tanaman di Asia Tengah, maka membutuhkan iklim topografi yang khusus, tidak seluruh wilayah di Indonesia cocok dengan bawang putih," kata Viva Yoga.
 
Menurut dia, pemerintah kebijakannya melalui sistem kuota tapi beberapa kali ada persoalan tata niaga pangan antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan yang sering kali tidak sinkron apalagi menjelang Pemilu.
 
"Beberapa periode dulu juga sama selalu begini banyak tidak sinkron, sekarang juga begini banyak yang tidak sinkron," ujarnya.
 
Viva Yoga mengingatkan pemerintah untuk hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan RIPH dari Kementerian Pertanian, karena sudah banyak jangan sampai membahayakan pemerintah apabila penegak hukum masuk menemukan adanya dugaan penyelewengan.
 
"Sistem kuota ini harus hati-hati, katena apa yang telah dikeluarkan RIPH dari Kementan itu ada ukuran-ukuran normatif tidak dan hukum tidak?. Yang membedakan para penerima RIPH itu mendapatkan jatah sesuai dengan kuota yang ada di RIPH atau pengurangan RIPH," katanya.
 
Viva Yoga mempertanyakan ukuran-ukuran hukum atau acuan apa yang menjadi dasar Kemendag untuk mengeluarkan surat persetujuan impor (SPI), apakah dari sisi kelengkapan dokumen atau ada faktor lain.
 
"Karena dari data, ada beberapa importir yang mendapatkan SPI itu baru sekali impor tapi ada juga yang sudah impor tapi masih belajar. Nanti jangan sampai KPK masuk, BPK masuk, Satgas Pangan dan aparat penegak hukum masuk yang akan sangat berbahaya buat pemerintah," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan