Indikasi ini terpapar pada laporan terbaru Koalisi Anti Mafia Hutan. Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan, Grahat Nagara mengatakan hasil temuan memberikan indikasi kerugian negara yang besar. "Jika dikalkulasi sejak 1991-2014 jumlah kesenjangan volume kayu sebesar 219 juta meter kubik dengan kerugian negara mencapai Rp55 triliun," ungkap Grahat, seperti dikutip Selasa (17/2/2015).
Grahat menambahkan, risiko tata hutan di Indonesia masih mengkhawatirkan. Dia memperlihatkan data asosiasi pulp dan kertas Indonesia (APKI) bahwa pasokan kayu dari HTI tidak memadai, terjadi konsumsi kayu yang lebih tinggi dari pasokannya.
Tercatat ada 20 juta meter kubik yang tidak tercatat Kementrian LHK. "Pertanyaannya, kayunya berasal dari mana? Ini yang belum bisa kita buktikan," cetusnya.
Nursamsu dari WWF Riau mengatakan, kayu yang diindikasi digunakan secara ilegal antara lain Akasia dan Ekaliptus, yang merupakan bahan baku utama untuk industri pulp and paper. "Untuk bahan baku yang paling banyak digunakan di Riau dan Kalimantan yaitu Akasia, dengan masa penanaman 5-7 tahun," ujarnya.
Ada pun dalam praktiknya mungkin terlihat legal, menurut Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau, perizinannyalah yang harus dipertanyakan. Untuk industri kayu seharusnya menggunakan HTI, dan bukan mengambil dari hutan alam.
Riko mengatakan terjadi penyimpangan prosedur pengolahan bahan baku. Banyak pelaku industri kayu pada akhirnya memilih jalan pintas dengan menggunakan kayu hutan alam, tanpa penanaman kembali.
"Aturan HTI, tanam-panen-produksi, namun yang sering terjadi adalah tebang-produksi-lalu lahan dibiarkan kosong," ujarnya.
Riko menambahkan seharusnya pemerintah tidak mengizinkan ekspansi penggunaan kayu alam pada produksi pulp dan kertas. Harusnya pemerintah menekankan intensifikasi daripada ekspansi, yang mana hal ini juga untuk menghidari monopoli industri pulp dan kertas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News