Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan keramik impor asal Tiongkok ke Indonesia masih tinggi meskipun telah dikenakan bea masuk atau safeguard sebanyak 36 persen sejak Oktober 2018. Peluang kekosongan pasokan itu tidak membikin industri keramik RI langsung untung, kehadiran produk impor kemudian muncul dari Vietnam dan India.
"Produk dari Tiongkok memang menurun 36 persen tapi produk impor dari Vietnam dan India meningkat ratusan persen, Tiongkok turun negara lain yang isi," kata Edy ditemui di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu, 25 September 2019.
Edy menuturkan pihaknya berencana mendorong penerapan safeguard impor keramik dari Vietnam dan India ke Kementerian Perdagangan. Pasalnya, kinerja produksi industri sektor keramik sudah kalah jauh bersaing di dalam negeri yang proyeksi pertumbuhannya hanya kisaran 5-6 persen pada 2019
"Saat kami mau menerapkan safeguard tahun lalu untuk Tiongkok, India, dan Vietnam komposisinya masih di bawah 3 persen buat impor, nah sampai semester I-2019 dua negara itu kalau digabung sudah 30 persen lebih komposisi impornya," paparnya.
Tantangan produk impor keramik seakan tak ada habisnya dihadapan dengan efek perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat. Khusus Tiongkok, baik pemerintah maupun pengusahanya tak tinggal diam melepas pasar besar penjualan keramik ke Indonesia.
Strategi pelemahan mata uang yuan dan modifikasi ukuran produk keramik juga membuat harga penjualan sulit ditandingi. Kondisi ini, kata Edy, sangat dikhawatirkan produsen keramik lokal untuk bisa bertahan secara jangka panjang di saat infrastruktur nasional telah rampung.
"Mereka tahu mulai diisi India dan Vietnam dan mengakali dengan cara menurunkan harga jual, menurunkan ketebalan keramik yang tadinya 9-10 milimeter per pieces (pcs) sekarang turun 7-7,5 milimeter per pcs. Tujuannya cuma satu production dan biaya transportasinya turun dan mereka mencoba mengambil kembali porsinya di Indonesia," paparnya.
Upaya peningkatan menggenjot kinerja produksi dan penjualan bukan tidak dilakukan seluruh pelaku usaha keramik RI. Arahan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dalam negri juga terus dijalani dengan mengedepankan program Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Perdagangan.
"Secara kapasitas produksi terpasang Indonesia ini besar sekali. Kita ini 580 juta meter persegi per tahun dan hari ini hanya mampu jalan 70 persen karena sisanya ga mampu bersaing dengan produk impor," ujarnya.
Harapan pengusaha keramik saat ini disematkan dalam implemetasi Perpres Nomor 40/2016 tanggal 3 Mei 2016 tentang penetapan harga gas bumi sebesar USD6 per MMBTU. Setelah tiga tahun berlalu harga jual gas industri dari PGN masih tetap tinggi bahkan naik mulai 1 Oktober 2019. Penyaluran gas kini menjadi sorotan lantaran memegang peranan sebesar 35 persen dari total biaya produksi keramik.
"Nah kalau gas mendapat dukungan, safeguard diberlakukan untuk Tiongkok, Vietnam, dan India. Kapasitas Indonesia mampu memenuhi permintaan dalam negeri," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News