Berdasarkan hasil penelitian BUMN Research Group (BRG) sebagai unit independen di bawah LM FEB UI, diketahui secara umum kemampuan masyarakat Indonesia terhadap ongkos angkutan udara berada di kisaran Rp1 juta hingga Rp1,5 juta.
Hal tersebut terlihat dari analisa keterjangkauan untuk membayar alias Affordability to Pay (ATP) dan kesediaan untuk membayar atau Willingness to Pay (WTP) penumpang angkutan udara. Hasil penelitian juga menunjukkan harga tiket pesawat di beberapa rute domestik seperti Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta, dan Jakarta-Denpasar dianggap cukup kompetitif.
"Itu artinya kemampuan daya beli penumpang dengan manfaat yang dirasakan cukup sejalan," kata peneliti BRG LM FEB UI, Arza Prameswara dalam siaran tertulis, Jakarta, Rabu, 29 Mei 2019.
Penelitian tersebut mengambil sampel sembilan rute penerbangan tersibuk di Indonesia yang menggunakan layanan penerbangan dalam empat bulan terakhir. Total jumlah responden sebanyak 630 orang.
Namun, terdapat kesenjangan antara kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk membeli tiket pesawat untuk rute Jakarta-Medan. Pasalnya, harga tiket yang berlaku di rentang Rp1 juta hingga Rp2,8 juta. Sementara itu, kemampuan masyarakat berada di rentang Rp1 juta hingga Rp1,5 juta.
Menurut Arza, kondisi ini yang kemudian mendorong fenomena beralihnya konsumen menggunakan maskapai asing dengan penerbangan transit internasional.
"Kondisi tersebut sesuai dengan 21 persen responden yang menyatakan kesediaan untuk memilih penerbangan transit," terang Arza.
Peneliti BRG lainnya, Yasmine Nasution menjelaskan inefisiensi maskapai dalam negeri menyebabkan harga tiket pesawat mahal. Di sisi lain, harga tiket yang selama ini diterapkan maskapai cukup kompetitif, bahkan berada di range batas bawah tarif.
Hal itu terlihat pada rute-rute seperti Jakarta-Surabaya, Jakarta Yogyakarta, dan Jakarta Denpasar yang cukup kompetitif secara relatif terhadap rute domestik di negara tetangga dengan jarak yang kurang lebih sama.
Sepanjang Mei 2019, misalnya, range tarif untuk rute Jakarta-Surabaya berkisar antara Rp840 ribu hingga Rp1,3 juta. Angka ini relatif sebanding dengan tarif yang dikenakan maskapai di Malaysia untuk rute Johor Baru-Alor Star (jarak tempuh 771 km) yakni di kisaran Rp755 ribu hingga Rp1,3 juta.
"Artinya kita tidak bisa melihat perbandingan harga secara keseluruhan, melainkan harus dianalisa untuk masing-masing rute. Kondisi ini menggambarkan multiple pricing strategy yang diambil oleh maskapai. Strategi penetapan tarif dilakukan secara dinamis bergantung di antaranya pada tingkat permintaan dan persaingan masing-masing rute," ungkap Yasmine.
Alhasil, implikasi kenaikan tarif tiket pesawat menyebabkan menyebabkan penurunan jumlah penumpang domestik pada kuartal I-2019. Beradasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang domestik pada Maret 2019 sebanyak 6,03 juta orang, menurun sekitar 28 persen dibanding jumlah penumpang di bulan yang sama pada tahun sebelumnya sebanyak 7,73 juta orang.
Yasmine menjelaskan, kenaikan tarif berdampak langsung pada penurunan jumlah penumpang bandara, sehingga berimplikasi terhadap penurunan pendapatan bandara. Sebagai misal, kata Yasmine, Bandara Internasional Minangkabu tercatat mengalami penurunan pendapatan di awal 2019 sebesar 25 persen dibanding capaian tahun sebelumnya.
"Mahalnya tiket pesawat akan berimbas pada sektor pariwisata. Hal ini terlihat dari penurunan konsumen hotel dan transportasi di kuartal I-2019,” pungkas Yasmine.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News