Dewan Direksi Sinar Mas Franky Wijaya dalam kunjungannya bersama Bupati Ogan Komering Ilir, Iskandar Rajasa, Kamis, 19 November, mengatakan, kebakaran hutan yang terjadi tahun ini merupakan musibah besar bagi APP. HTI yang sudah siap dipanen ikut terbakar dan luasannya mencapai 6 ribu hektare (ha).
Menurut Franky, sejak 2005 pihaknya mengembangkan HTI di wilayah OKI. Pilihan ini dilakukan karena daerah ini memiliki luas lahan yang memadai dan tidak jauh dari Selat Bangka yang akan menjadi pelabuhan samudera untuk ekspor.
Sejak 2013 APP membangun pabrik pengolahan di areal seluas 1.700 ha dengan investasi USD2,6 miliar atau sekitar Rp35 triliun. Pabrik ini kelak akan bisa memproduksi pulp dua juta ton per tahun dan kertas tisu 500 ribu ton per tahun. Nilai ekspornya mencapai USD1,5 miliar per tahun.
Dengan luasan HTI 400 ribu ha, OKI Pulp and Paper akan mendapat pasokan yang berkesinambungan. Apalagi teknologi yang dipakai di pabrik ini menggunakan teknologi terbaru dari Skandinavia di mana semua bahan nyaris tidak ada yang dibuang dan memperhatikan syarat lingkungan.
Menurut Direktur Sinar Mas Forestry Stanley Nayland, kebakaran yang terjadi di sebagian kecil kawasan HTI merugikan APP. Dari 6 ribu ha kawasan yang terbakar ada sekitar 7,2 juta ton kayu siap panen yang ikut terbakar. Apabila harga jual sekitar USD35, artinya sekitar USD250 juta.
Musibah ini tidak terelakkan karena El Nino tahun ini luar biasa. Menurut laporan lembaga metereologi Prancis, El Nino kali ini yang terburuk kedua setelah 1950.
Franky berharap musibah ini tidak mengganggu rantai pasokan kayu untuk kebutuhan pabrik. Untuk menjaga kawasan HTI yang ada, APP mengembangkan teknologi paku bumi dalam mematikan api. Teknologi ini diadopsi dari pengelolaan tanah gambut di Afrika Selatan.
Bupati OKI Iskandar menambahkan, yang perlu dilakukan adalah tindakan preventif. Tahun depan pihaknya akan melibatkan semacam polisi desa untuk melakukan pemantauan dan kalau ada kebakaran mematikan terlebih dahulu.
Dalam konsep Iskandar, setiap desa akan diminta setidaknya 10 orang untuk menjadi pengawas. Kalau ada 200 desa akan ada 2 ribu pengawas. Dengan gaji Rp1 juta hanya Rp 200 juta biaya per bulan. Kalau mereka bertugas empat bulan selama musim kemarau, hanya diperlukan biaya Rp800 juta dan itu jauh lebih murah dibandingkan miliaran rupiah untuk pemadaman kebakaran hutan seperti tahun ini.
Franky mendukung ide tersebut dan berharap bisa ditetapkan dalam rapat tingkat nasional. Termasuk untuk merumuskan perlengkapan dan keterampilan yang dibutuhkan dari aparat desa yang akan menjadi pengawas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News