SPBG. ANTARA FOTO/Jafkhairi
SPBG. ANTARA FOTO/Jafkhairi

YLKI Angkat Bicara Perihal Gagalnya Konversi BBM ke BBG

Fario Untung • 19 November 2014 14:21
medcom.id, Jakarta: Pemerintah dituntut untuk lebih memerhatikan potensi energi alternatif untuk disalurkan kepada masyarakat, seperti sektor gas yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih melimpah ketimbang terus menerus bergantung pada impor minyak. Seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif.
 
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, penghematan anggaran bahan bakar minyak (BBM) itu bisa untuk mempercepat penggunaan bahan bakar gas (BBG) dan dapat dialihkan ke sektor lain yang berguna untuk masyarakat.
 
"Misal dari Rp 120 triliun penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan SPBG di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," ujar Tulus ketika dikonfirmasi, Rabu (19/11/2014),

Dia menyarankan, dari nilai penghematan itu bisa dialihkan sebesar Rp30 triliun untuk konversi BBM ke BBG karena sampai saat ini hanya ada 19 SPBG. Itu pun belum maksimal karena kendaraan bermotor belum banyak memakai BBG termasuk angkutan umum.
 
"Sering dikatakan, membangun MRT cukup Rp16 triliun, kenapa dialihkan kesana sekaligus membangun SPBG sekaligus penyediaan angkutan umum berbasis gas, karena program gasifikasi kendaraan umum juga sudah mendesak," tukasnya.
 
Tulus membandingkan kondisi di negara lain dengan program konversi ke gas yang diusung di Indonesia yang dimulai pada 1998, hampir berbarengan dengan yang dijalankan di Pakistan. Kini hasilnya jauh berbeda. Pakistan sekarang punya 3.000 SPBG sehingga tiap tahun hampir 3 juta kendaraan menikmati gas.
 
"Karena pemerintah Pakistan konsisten dengan rencana, kemudian dieksekusi sehingga program itu terlaksana. Di Indonesia terlalu banyak kepentingan,"  kata dia.
 
Padahal, dengan  harga minyak yang mahal maka kebijakan menggunakan energi alternatif seperti gas sudah sangat mendesak. Dari sisi pasokan pun melimpah. "Sebenarnya seluruh alasan untuk tidak mempercepat gasifikasi kendaraan bermotor, justru menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu di balik itu," cetus Tulus.
 
Dari hasil pengamatan di luar negeri, seperti di kota Guangzhou, Tiongkok, busway dan transportasi di sana justru menggunakan gas dari lapangan Tangguh. Kemudian taksi-taksi di Malaysia juga pakai gas dari Indonesia.
 
"Bahkan pembangkit di Singapura juga menggunakan gas dari Indonesia yang diambil langsung dari Natuna dan Sumatera Selatan. Sementara di kita, PLN seringkali kesulitan mendapat gas, dan bahkan banyak pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, kelihatan sekali bahwa ada pihak-pihak tertentu yang lebih senang mengimpor minyak," ucapnya.
 
Sebelumnya, Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan yang dilakukan pemerintah tak sungguh-sungguh. Hal ini terutama karena lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya.
 
Menurutnya, memang tidak akan secara langsung mendorong konversi. Namun, pertama-tama pihaknya akan mengidentifikasi lagi masalah apa saja yang menghambat untuk kemudian diberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WID)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan