"Kemarin keputusannya IKM hanya cukup sampaikan deklarasi dan tidak dipungut biaya. IKM cukup self declaration bahwa mereka menggunakan kayu legal, istilahnya adalah SVLK yang disederhanakan," ujar Direktur Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto di Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Panggah mengungkapkan, sasaran dari SVLK ialah mengatasi pembalakan liar dan memperbaiki citra produk industri berbasis kehutanan asal Indonesia. Pasalnya, saat ini kayu dari hasil pembalakan liar dikirim ke berbagai negara, seperti Tiongkok dan Vietnam. Kayu-kayu kemudian diolah menjadi produk turunan yang dijual ke pasar yang sama dengan produk hasil kayu Indonesia.
Panggah mengatakan, jika permasalahan tersebut tidak diselesaikan, target ekspor USD5 miliar per tahun dalam lima tahun mendatang tidak akan tercapai. Apalagi, daya saing Indonesia dengan Tiongkok dan Vietnam masih kalah.
"Citra sebagai pemasok kayu illegal logging dan persoalan daya saing, ini menjadi fokus utama kita untuk diselesaikan. Intinya, kita harus menyelesaikan masalah illegal logging ini dulu," ucapnya.
Sekedar informasi, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) mencatat, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-13 sebagai negara pengekspor industri mebel. Sebagai gambaran, total ekspor mebel dunia pada 2013 mencapai USD112 miliar dimana kontribusi terbesarnya disumbang oleh Tiongkok dengan nilai mencapai USD40 miliar. Indonesia sendiri masih kalah dibandingkan Vietnam yang kontribusinya mencapai USD4,2 miliar sekaligus menempati peringkat keempat dunia. Adapun kontribusi Indonesia baru USD1,7 miliar.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Amkri Abdul Sobur membenarkan mengenai penyederhanaan SVLK. Bahkan, menurutnya, bukan hanya IKM yang tidak mesti memiliki sertifikat legalitas kayu. Semua pelaku usaha juga akan diberlakukan ketentuan yang sama.
"Bukan berarti tidak berlaku (SVLK) karena bisa diganti self diclaration. Subtansinya merata untuk hilir," tuturnya.
Abdul mengungkapkan, ketentuan ini mendapat sambutan yang baik di kalangan pengusaha, utamanya IKM. Sebab, biaya yang mesti dikeluarkan untuk mendapat sertifikat legalitas kayu tergolong mahal bagi pelaku IKM. Biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp40 juta. Alhasil, baru sekitar 29 persen dari 5 ribu pelaku usaha mebel yang sudah memiliki sertifikat legalitas kayu. Padahal, aturan ini sedianya akan ditetapkan pada awal 2015.
"Substansinya untuk furnitur. Kalau hulu silakan punya SVLK karena mereka memang perlu. Yang perlu dipertanyakan untuk kami (hilir) ya pabriknya, kami cukup nyatakan sudah beli bahan dari tempat yang benar," tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan telah menganggarkan dana Rp2,5 miliar untuk bantuan sertifikasi. Namun, Kemenhut juga meluncurkan program self declaration yang memungkinkan industri rumah tangga dan pengrajin tidak perlu mengurus sertifikat regular. Mereka hanya perlu memiliki dokumen self declaration yang menyatakan bahwa asal usul kayu tersebut legal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News