"Dunia usaha menganggap tidak ada solusi yang ditawarkan, sehingga (Jepang) berinisiatif bangun Cilamaya. Jadi, ketika Jepang ingin bangun di sana, karena mereka merasa tidak ada solusi yang ditawarkan pemerintah sampai saat ini," kata Ina, seperti dikutip dalam siaran persnya, di Jakarta, Sabtu (7/3/2015).
Akibatnya, pihak industri berpikir kawasan industri harus ditopang oleh pelabuhan. "Tanpa kajian, mereka bilang, kayanya kita butuh pelabuhan deh. Dan dunia usaha menginginkan keberlanjutan usahanya," kata Ina.
Menurutnya, pemerintah dan semua pihak harus mengkaji ulang rencana pembanguan Cilamaya, termasuk soal pergeseran beberapa kilometer dari posisi semula ke arah barat agar tidak mengorbankan pipa minyak dan gas yang lebih dulu ada. "Rencana pergesaran 2,9 kilo meter itu harus dibicarakan bersama-sama, tanpa korbankan pipa-pipa migas yang layani masyarakat dan lahan pertanian," katanya.
Ina menegaskan, kisruh rencana pembanguan Cilamaya harus menjadi pelajaran bagi kementerian dan lembaga terkait di masa mendatang sebelum merumuskan satu recana agar tidak terjadi konflik seperti saat ini. "Harusnya mengkaji lebih dulu secara horizontal. Kalau saya lihat, perlu dikaji ulang dan duduk bersama, selama ini memang komunikasinya kurang," nilai Ina.
Di sisi lain, Communication and Relations Manager Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), Dona M Priadi, mempertanyakan klaim Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Adolf Richard Tambunan, yang mengatakan, pelabuhan Cilamaya bisa dibangun sesuai hasil kajian tiga konsultan independen.
"Kami tidak pernah setujui hasil kajian konsultan. Kami sudah sampaikan sanggahan di kantor Kemenko. Pergeseran tiga kilometer itu tetap di tengah-tengah wilayah operas ONWJ. Konsultan itu juga tidak independen, karena dibiayai JICA (Japan International Cooperation Agency)," tambah Dona.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News