Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan mesin tua tesebut umurnya sudah lebih dari 30 tahun. Meski tak mengalami kendala keandalan kerja, peremajaan teknologi idealnya dilakukan untuk memangkas ongkos produksi yang cenderung kurang efisien dibandingkan dengan mesin baru.
"Mesinnya bukan kurang baik tapi sudah tua karena lebih dari 30 tahun, teknologi tertinggal ini membuat konsumsi energi sangat besar sehingga biaya beda 5-6 persen per kilogram," kata Ade kepada Medcom.id, Senin, 7 Oktober 2019.
Di tingkat hulu, kelompok produsen serat benang bahkan ada 11 dari 12 pabrik pengolahan yang menggunakan mesin tua tersebut. Kemudian sektor tengah seperti pabrik pemintalan dan penenunan kain, penggunaan mesin baru hanya mencapai 20 persen.
"Pencelupan dan printing lebih parah, mungkin di atas 85 persen mereka memakai mesin tua," ungkapnya.
Kualitas terbaik pada hasil produk industri pertekstilan dalam negeri belum bisa menjamin merajai pasar domestik sekalipun. Ongkos produksi tetap perlu ditekan agar bisa bersaing pada harga jual di tingkat pengecer terutama menghadapi serbuan produk impor.
"Pencelupan itu mesinnya butuh 10 liter air untuk satu kilogram bahan, kalau airnya banyak memanaskan air itu sendiri butuh enegi yang banyak, begitu juga rasio bahan obat kimia yang dimasukkan harus banyak," paparnya.
Kehadiran teknologi baru, kata Ade, bisa mengurangi penggunaan air dan bahan kimia hingga lebih dari 50 persen. Sehingga biaya energi yang dikeluarkan pun jauh lebih minim.
"Nah teknologi sekarang sudah bisa mengolah 4,5 liter air per satu kilogram bahan, semuanya berbanding hampir setengah antara teknologi tua dengan yang baru ini," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id