"Ya enggak bisa ekspor lah, susah (dengan bea masuk) delapan persen," kata Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin, 29 Juli 2019.
Pemerintah sedang menunggu dokumen mengenai penganaan bea masuk biodiesel ini dari Uni Eropa. Setelah itu, pemerintah akan menyampaikan tanggapannya, sehingga jika melakukan penolakan akan disampaikan kembali kepada Uni Eropa.
Paulus menambahkan Uni Eropa sengaja menganggu ekspor biodiesel dari Indonesia. Namun dirinya berharap pembelaan dari para pengusaha dan pemerintah bisa membuat Uni Eropa menurunkan bea masuknya atau bahkan membatalkan rencana tersebut.
"Mungkin bisa kurang dari delapan persen, nanti kita lihat. Kalau bisa lebih rendah lagi kan mungkin banyak yang bisa ekspor. Ya sudahlah kalau lima persen sama saja kayak pajak biasa, tapi kalau 18 atau 16 persen tadi besar banget," jelas dia.
Penyelidikan Uni Eropa dimulai sejak 6 Desember tahun lalu berdasarkan petisi European Biodiesel Board (EBB) yang diawali oleh firma hukum Fidal pada 19 Oktober 2018 kepada Komisi Eropa. Pemerintah Uni Eropa melakukan penyelidikan antisubsidi terhadap impor biodiesel asal Indonesia dengan mengambil lima perusahaan produsen atau eksportir biodiesel.
Ada sembilan tuduhan terkait subsidi yang dilayangkan Uni Eropa di antaranya:
1. Dana subsidi biodiesel.
2. Larangan ekspor minyak kelapa sawit untuk menjamin suplai di dalam negeri dianggap membuang harga menjadi rendah.
3. Insentif yang diberikan pemerintah pada investasi yang berada di remote area atau wilayah terpencil.
4. Kehadiran Exim Bank yang dianggap sebagai dukungan pemerintah terhadap perusahaan untuk mengekspor kelapa sawit.
5. Pemberian insentif untuk kawasan industri agar berkembang.
6. Pemberian insentif untuk industri baru.
7. Fasilitas untuk impor barang modal.
8. Pengecualian pajak impor barang modal.
9. Pemberian subsidi pada industri atau produsen minyak kelapa sawit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News