"Tapera merupakan satu harapan terciptanya kesejahteraan dan penghidupan yang lebih layak," ujar Mudhofir, seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Dia mengatakan, masalah perumahan buruh adalah salah satu dari sembilan solusi yang ditawarkan oleh pihaknya kepada Pemerintahan Jokowi-JK pada pertengahan 2015, ketika Indonesia dihadapkan pada masalah perlambatan ekonomi yang cukup serius dan mengarah pada krisis ekonomi.
"KSBSI melihat bahwa UU Tapera merupakan sinergitas dari program sejuta juta rumah di 2015 yang telah dicanangkan Presiden Jokowi sejak 29 April 2015," jelas dia.
Lebih lanjut, Mudhofir memastikan serikat buruh sangat mendukung program pemerintah tersebut sebagai bentuk nyata dalam mengentaskan kemiskinan dan upaya meningkatkan kesejahteraan buruh, tetapi setidaknya ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki oleh pemerintah dalam pelaksanaan UU Tapera tersebut.
Pertama, besaran iuran maksimal sebesar 2,5 persen dari buruh dan 0,5 persen dari pemberi kerja cukup ideal, tetapi diharapkan ada peran negara di dalam komposisi tersebut. Meskipun UU Tapera juga menyasar pada PNS.
"TNI dan Polri, yang mewajibkan pemerintah ikut menggiur, tetapi itu dalam porsi pemberi kerja," terang dia.
Peran pemerintah dalam UU Tapera tidak harus berupa penyertaan iuran, lanjut dia, tetapi nantinya pada saat penerapan dari tabungan perumahan rakyat tersebut yang dapat berupa subsidi listrik, properti, bunga atau lainnya. Sehingga harga rumah nantinya menjadi lebih murah.
"Kalau berpegang pada program satu juta rumah, kategori masyarakat berpenghasilan rendah adalah calon pembeli rumah yang merupakan pekerja formal berpenghasilan tetap maksimal Rp7 juta per bulan untuk pembeli rumah susun, dan seseorang dengan penghasilan Rp4 juta untuk calon pembeli rumah tapak," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News