Paulus menjelaskan kekurangan itu dapat diatasi dengan mengambil dana dari konsumen atau melalui suntikan Dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dia mengatakan bawa dana dari konsumen bisa diambil melalui selisih harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dijual pertamina.
Dia mencontohkan harga sollar yang berbeda jauh ketimbang dengan di Singapura. Di Singapura harga solar mencapai Rp3.200 per liter sedangkan harga solar di indonesia mencapai Rp5.400 per liter. Dia menyarankan selisih itu bisa diambil untuk mensubsidi kekurangan dana yang didapatkan melalui pungutan kepada pengusaha kelapa sawit.
"Selisihnya kan bisa diambil buat subsidi, masak dari selisih itu enggak bisa dipangkas," kata dia ketika dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (24/1/2016).
Pengunaan Dana melalui APBN dilakukan melalui pertimbangan penyaluran komponen B20 akan memberikan manfaat untuk menekan impor BBM yang selama ini membebani neraca APBN.
Apalagi, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit mencatat aturan yang mengharuskan produsen bahan bakar minyak (BBM) mencampur 20 persen kelapa sawit pada BBM jenis solar itu bakal mengurangi emisi CO2 sebanyak 18 juta ton.
"Dengan manfaat itu, maka bisa saja dimasukan dalam APBN," jelasnya.
Opsi itu dilakukan jika melihat kepada penurunan harga minyak dunia yang membuat BLU alami kekurangan dana untuk menyesuaikan harga kelapa sawit dipasaran global yang terus merosot.
Menurut perhitungan BLU setiap penurunan minyak bumi sebesar USD1 per barel membutuhkan tambahan dana sekitar Rp350 miliar. Jika harga minyak USD40 per barel dan harga CPO 500 per ton membutuhkan dana sebesar Rp9,5 triliun.
Sedangkan target dana Rp9,5 triliun dengan asumsi cadangan stok selama delapan hingga sepuluh bulan. Asumsi ini berpotensi meleset jika harga CPO terus terperosok seperti yang diramalkan banyak analis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News