Agus membeberkan, beberapa industri memang perlu masa transisi untuk meningkatkan penggunaan rupiah. Namun, semenjak dikeluarkannya Peraturan BI (PBI) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), beberapa industri sudah mulai mengurangi penggunaan valas.
"Kelihatan secara jauh dan cepat dalam melakukan penyesuaian (penggunaan rupiah dalam transaksi) itu di area industri logam, kimia, dan industri tekstil. Industri tersebut kelihatannya sudah melakukan transaksi sesuai dengan undang-undangnya," ujar Agus, di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (2/3/2016).
Meski demikian, terdapat beberapa sektor industri yang masih membutuhkan masa transisi untuk meningkatkan penggunaan rupiah. Ini diperbolehkan, kata Agus, asalkan sektor industri yang meminta masa transisi tersebut harus berkomitmen untuk mengurangi penggunaan valas.
"Tentu kita harus memahami masing-masing sektor dan sub sektor industri karena mereka punya karakteristik. Ada yang karakteristiknya bahwa dia untuk produksi yang bahan bakunya sebagian besar impor, jadi ada risiko valas," tutur dia.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengungkapkan, saat ini asosiasi industri kimia, tekstil, dan logam telah memberikan surat kepada perusahaan untuk meningkatkan penggunaan rupiah di dalam negeri. Sayangnya, industri di sektor makanan dan minuman (mamin) masih sulit menerapkan aturan BI yang dikeluarkan sejah pertengahan lalu itu.
"Ya ada beberapa (industri) yang perlu waktu di makanan minuman yang mungkin juga salah satunya karena bahan baku lebih banyak impor. Ini perlu waktu masa transisi hingga perlu ada adjustment," pungkas Saleh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News