"Kebijakan G to G menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas," ujar Aviliani, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (9/3/2016).
Dirinya menambahkan, pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan LSM lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi. Apalagi, masyarakat dan dunia usaha di Indonesia tidak percaya kepada kredibilitas LSM lingkungan.
Selain itu, Aviliani juga meminta kepada pemerintah untuk mengumumkan nama-nama LSM yang terlibat dalam kegiatan restorasi tersebut. Sebab, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. "Mereka (LSM) kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain," kata perempuan kelahiran Malang itu.
Menurut Aviliani, pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan sosial dan lingkungan. "Jauh sebelum BRG bediri, dunia usaha seperti industri kepala sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya," imbuhnya.
Disisi lain, Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan, semua kegiatan pemanfaatan lahan perkebunan di Malaysia diatur pemerintah agar terintegrasi. Pemerintah juga menaruh perhatian tinggi dan mendanai riset pemanfatan lahan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi.
Semua kegiatan riset berlangsung dalam perencanaan jangka panjang yang hasilnya dihormati bersama. Itu berarti, ketika pemerintah memberi izin konsesi, pemerintah juga melindungi kegiatan korporasi tersebut dari semua gangguan, termasuk kampanye hitam LSM yang juga marak di Malaysia.
"Pemerintah sangat memproteksi korporasi karena teruji dan memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi karena peran industri perkebunan," pungkas Melling.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News