"Itu tentu mengikat kepada Perjanjian Juanda dan UNCLOS. Jadi itu kedaulatan kita non negotiable," tegas Airlangga, seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.
Sementara itu, terkait dampak dari ekonomi, Menko Airlangga menyebut masih terlalu dini untuk menyimpulkan imbas yang ditimbulkan, termasuk rencana investasi dari Tiongkok. "Kita lihat saja dalam proses di BKPM ada beberapa yang sudah mengajukan, kita lihat perkembangannya," imbuhnya.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri melayangkan nota protes terkait pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) oleh penjaga pantai Tiongkok di perairan Natuna. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan wilayah ZEE Indonesia sudah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
"Tiongkok merupakan salah satu party dari UNCLOS 1982, oleh karena itu merupakan kewajiban Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982," ungkap Retno.
Indonesia, kata dia, tidak pernah akan mengakui nine dash-line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982.
Isu kedaulatan kembali mengemuka dalam dua pekan terakhir setelah kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Natuna. Dikawal oleh kapal penjaga pantai Tiongkok, kapal-kapal asing itu bersikukuh melakukan penangkapan ikan di lokasi yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.
Merasa hak berdaulatnya telah diusik, TNI mengerahkan delapan KRI, satu pesawat jenis Boeing, serta empat unit pesawat F-16 untuk berpatroli dan mengamankan perairan Natuna, karena sesuai UNCLOS 1982 Tiongkok tidak memiliki hak apapun atas perairan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News