Ketua KPPU Syarkawi Rauf. FOTO ANTARA)
Ketua KPPU Syarkawi Rauf. FOTO ANTARA)

KPPU Ingin Status Kelembagaan yang Lebih Kuat

Andhika Prasetyo • 03 November 2016 07:10
medcom.id, Jakarta: Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) menginginkan adanya status yang lebih kuat di dalam lembaga tersebut sehingga dapat melaksanakan tugas dan kewenangan dengan lebih baik.
 
“Saat ini, KPPU disebut lembaga negara tidak, bukan lembaga negara juga tidak. Tidak dinyatakan dengan tegas di dalam undang-undang tentang status KPPU,” ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Jakarta, Rabu (2/11/2016).
 
Dengan status kelembagaan yang lebih kuat, ungkap Syarkawi, KPPU akan mendapatkan perhatian lebih dan bisa lebih mudah dan lebih baik dalam menjalankan tugasnya.

"Ini akan memudahkan kami dalam melaksanakan kewenangan, dalam memberikan saran kepada pemerintah. Kalau statusnya tidak kuat ya saran kami akan diabaikan begitu saja. Penguatan ini yang kami butuhkan," tegasnya.
 
Setidaknya, lanjut Syarkawi, KPPU bisa disetarakan dengan lembaga negara lainnya yang kini sudah memiliki status kuat di dalam pemerintahan.
 
"Mungkin tidak sekuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya bisa setara dengan Komisi Pemilihan Umum," jelasnya. 
 
Status kelembagaan yang lemah juga menjadi masalah sendiri bagi pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di dalam tubuh KPPU.
 
"Banyak SDM unggul keluar dari KPPU karena merasa tidak terjamin dengan masa depan yang ada di sini. Tidak sedikit dari mereka menjadi pengacara dan membela para pengusaha di dalam proses persidangan yang menjadi terlapor," ucap Syarkawi.
 
Wacana penguatan status kelembagaan KPPU sedianya tertuang dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 5 Tahun 1999 terkait persaingan usaha tidak sehat. RUU yang digagas Komisi VI DPR RI itu kini telah berada di Badan Legislasi DPR RI.
 
Ketua Panitia Kerja RUU Persaingan Usaha Tidak Sehat Azam Azman Natawijana mengatakan rancangan awal sudah selesai dan tinggal menunggu dibawa ke sidang paripurna.
 
"Nanti pemerintah akan mengirimkan wakilnya untuk melakukan pembahasan dengan DPR RI. Mungkin Menteri Perdagangan, kami juga belum tahu," ujar Azam.
 
Azam memastikan RUU Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak akan menghambat atau menghalang-halangi kegiatan usaha. Malah, lanjutnya, regulasi itu akan memberikan kepastian hukum berusaha dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
 
"Kami jelas sudah melakukan tinjauan ke komite pengawasan persaingan usaha negara-negara lain seperti jerman, Jepang dan kami lihat mana yang cocok dengan iklim di dalam negeri. Kami kemas sedemikian rupa. Kami juga telah bertemu dengan para stakeholder yang terlibat dalam hal ini," ungkap Azam.
 
Selain berisi tentang penguatan kelembagaan, RUU Persaingan Usaha Tidak Sehat juga membahas perubahan nominal denda yang dijatuhkan kepada para pelaku usaha yang melakukan praktik kecurangan. Syarkawi kembali menyebutkan pihaknya akan memberikan denda maksimal 30 persen dari hasil penjualan.
 
"Hukuman ini kan logikanya untuk mengambil kembali keuntungan yang didapat secara tidak sah," tuturnya.
 
Selama ini, berdasarkan regulasi yang ada, denda persaingan ditetapkan minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar. Syarkawi menilai hal itu tidak mencerminkan keadilan karena pada kenyataannya para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel kerap mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari angka tersebut.
 
Ia juga mengatakan, dalam RUU, tidak menetapkan denda dari hasil keuntungan karena hal itu bisa saja direkayasa oleh pelaku usaha.
 
"Rekayasa laporan keuangan kan mudah dilakukan. Mereka bisa membuat profit seolah-olah rendah padahal sebenarnya tinggi. Belum lagi kalau berdasarkan keuntungan, ada proses audit dulu yang harus dilakukan," ucapnya.
 
Kendati demikian, Syarkawi menekankan denda harus memiliki efek jera namun jangan sampai membunuh pelaku usaha itu sendiri.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan