Ilustrasi. (FOTO: MI/RAMDANI)
Ilustrasi. (FOTO: MI/RAMDANI)

Boediono Lebih Deg-degan Jadi Bankir Bank Sentral Ketimbang Wapres

Fathia Nurul Haq • 02 Agustus 2016 18:55
medcom.id, Nusa Dua: MANTAN Wakil Presiden Boediono sedikit bercerita mengenai tugasnya saat menjadi pemimpin bank sentral di Tanah Air. Kendati rumit, Boediono mengaku saat menjadi bankir bank sentral, tugasnya justeru lebih sulit ketimbang saat menjabat wakil presiden.
 
"Melihat ke belakang, dapat saya katakan para bankir bank sentral punya tugas yang lebih sulit dan membuat deg-degan ketimbang wakil presiden," ujar Boediono yang juga sempat menjabat sebagai wakil presiden pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Pendapat itu dikemukakan Boediono di hadapan delegasi bank sentral dari 11 yurisdiksi di kawasan Asia-Pasifik dalam seminar kerja sama Internasional yang digelar oleh Bank Indonesia dan Federal Reserve Bank of New York di Sofitel, Bali, Senin, 1 Agustus. Ia bercerita pengalamannya sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia sempat diuji oleh dua kali hempasan krisis finansial. Dari sana, Boediono menyimpulkan lima poin pelajaran penting yang dipetiknya saat menjinakkan krisis.

Pelajaran pertama yang penting untuk diingat ialah dua krisis menerpa Indonesia secara tiba-tiba. "Ilmu pengetahuan untuk mengantisipasi krisis belum sebaik ilmu pengetahuan untuk memprediksi gempa bumi," ucap Boediono.
 
Karena tiba-tiba, maka Boediono mempelajari penting bagi suatu negara untuk terus memonitor kesehatan finansialnya dan menjaga keseimbangan komponen finansial. Kondisi politik tanpa diduga memberi efek signifikan dalam menghadapi krisis.
 
Pelajaran kedua ialah ketergantungan antar otoritas tidak terelakkan, terutama dalam mengambil kebijakan dan membaca situasi. Indonesia menjadi negara yang paling tidak terdampak krisis keuangan 2013 dan paling cepat pulih lantaran saat itu pengambil keputusan memiliki informasi yang akurat saat akan mengambil kebijakan.
 
Terkait pengalaman ini, pelajaran ketiga yang dapat dipetik menurutnya ialah koordinasi lintas otoritas tidak selalu dapat diharapkan berjalan mulus. Pasalnya menurut Boediono, tiap institusi berwenang kadang memiliki respon terhadap krisis yang berbeda dan sulit diterka.
 
"Pelajaran keempat ialah seringkali institusi tidak banyak berpengalaman menangani krisis, padahal ini penting untuk mendukung institusi mengambil keputusan saat krisis," sebutnya.
 
Masalah ini menjadi kendala terutama saat pengambil keputusan belum pernah teruji oleh krisis sebelumnya. Pengalaman institusi yang dipimpinnya bisa membimbing pengambil keputusan dalam memahami situasi. Tatkala institusi tidak mengingat pengalaman mereka menghadapi krisis maka proses pembimbingan tersebut tentu menjadi sulit.
 
"Sayangnya, praktek sistemik menangani krisis dan membangun pengalaman dan pengetahuan institusional untuk membantu pengambil keputusan di masa depan belum umum di negara ini," sesal Boediono.
 
Pelajaran terakhir dan tak kalah pentingnya ialah kerjasama yang baik antara otoritas moneter dan pemerintah. Seperti yang ia sebutkan di awal, perekonomian yang baik hanya dapat disokong oleh perpolitikan yang stabil.
 
"Pada krisis pertama (tahun 1997-1998), situasi politik sedang kacau dan kita membutuhkan waktu sampai enam tahun untuk mengembalikan kestabilan ekonomi. Krisis berikutnya kita lebih beruntung karena gejolak perpolitikan minim. Kurang dari sembilan bulan ekonomi sudah pulih," kisah dia.
 
Belajar dari pengalaman, Boediono berharap agar para bankir bank sentral mau membagi tugas beratnya dengan pemangku otoritas lain.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan