Ilustrasi pencari kerja. FOTO: dok MI.
Ilustrasi pencari kerja. FOTO: dok MI.

Empat 'Pekerjaan Rumah' Kartu Prakerja

Nia Deviyana • 07 Oktober 2019 14:25
Jakarta: Gagasan kartu prakerja yang akan diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2020 dinilai positif untuk memaksimalkan bonus demografi. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dibenahi agar gagasan ini dapat memberikan kontribusi maksimal.
 
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan ketidaksinkronan data yang digunakan bisa menjadi masalah.
 
"Kita punya data dari BPS (Badan Pusat Statistik), kementerian, dan itu beda-beda. Sehingga kalau mau ambil keputusan, pakai data yang mana? Seringkali ambil keputusan itu salah sasaran karena datanya bermasalah," ujarnya saat berbincang di acara Metro Pagi PrimeTime di Studio Metro TV, Kedoya, Senin, 7 Oktober 2019.

Fithra melanjutkan, di Indonesia kategori unpaid family workers sebanyak 13 persen, lebih tinggi dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia empat persen dan Filipina delapan persen.
 
"Unpaid family workers itu ada orang yang bekerja, tapi mungkin dia tidak layak pekerjaannya. Ketika ada kartu prakerja orang-orang ini mungkin akan menyeruak ke permukaan, mengaku sebagai pengangguran, dan memanfaatkan kartu prakerja ini karena salah satu benefitnya ada fasilitas penyaluran ke BUMN, vokasi, dan sebagainya," paparnya.
 
Selain itu, menurut Fithra, pemerintah mesti menyetok sumber daya manusia yang memadai untuk balai latihan kerja. Dia mencontohkan balai pelatihan di Jerman punya 133 ribu staf administrasi dan instruktur.
 
"Kita dari Sabang sampai Merauke masih terbatas 2.000-3.000-an yang diposkan di situ. Jadi kalau pekerja masuk ke situ untuk peningkatan kapasitas, ya enggak maksimal karena terbatas instrukturnya," tuturnya.
 
Kemudian, persepsi mengenai standard Balai Latihan Kerja (BLK) yang membuat lulusan universitas enggan mengikuti program tersebut. Fithra mengungkapkan, masih banyak masyarakat memandang sebelah mata BLK. Padahal, program ini positif.
 
"Persepsi publik untuk BLK itu untuk kelas rendahan, TKI, untuk yang tidak punya pilihan lain, tapi kalau lihat Jerman, wajar saya saya lulusan sarjana ikut BLK karena masih menganggur," cetusnya.
 
Dengan dibuat standar yang tinggi, antusiasme calon pekerja yang mengikuti BLK diharapkan makin tinggi. "Maka persepsi orang makin baik, sehingga kemudian bisa meningkatkan kualitas tenaga kerja lebih optimal," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan