"Ya, setuju jika barang konsumsi yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri dikendalikan impornya. Ini untuk mengangkat industri lokal dan memperbaiki neraca dagang yang tengah memburuk," kata Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin Taufiek Bawazier di Jakarta, Rabu, 29 Agustus 2018.
Ia mengatakan, sejak awal tahun hingga Juli, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai USD3,08 miliar. Karena itu, ia memaparkan beberapa barang konsumsi yang berpotensi dari kenaikan PPh impor.
Menurut dia, barang konsumsi pertama ialah ban. Dia menyebutkan nilai impor ban pada semester pertama 2018 mencapai USD350 juta, atau meningkat lebih dari 100 persen ketimbang periode sama tahun lalu sebesar USD150 juta.
"Kebijakan impor ban tidak tepat karena industri ban dalam negeri, dengan dukungan bahan baku karet melimpah, sudah mampu memenuhi kebutuhan nasional," jelasnya.
Barang konsumsi lainnya yang berpotensi dikendalikan impornya ialah pelumas. Khusus pelumas mobil dan motor saja, nilai impor pada 2017 mencapai USD230 juta. "Selain dua komoditas itu, ada kosmetik, keramik, dan lembaran kaca," ucapnya.
Ia menambahkan kenaikan PPh impor hanya kebijakan jangka menengah. "Untuk jangka panjang, kita harus makin menguatkan industri-industri yang jadi unggulan."
Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi GP Farmasi Vincent Harijanto mengaku tidak khawatir atas kenaikan PPh impor terhadap 900 barang konsumsi.
Pasalnya, di industri farmasi, 90 persen barang yang dijual ialah hasil produksi dalam negeri. "Hanya 10 persen produk obat yang diimpor dari negara lain seperti obat antikanker dan antiretroviral. Itu impor karena kita belum bisa produksi."
Ia pun menilai selama pemerintah tidak membatasi impor bahan baku, industri farmasi di Tanah Air akan terus menggeliat. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News