Ilustrasi. (FOTO: ANTARA/Saiful)
Ilustrasi. (FOTO: ANTARA/Saiful)

Kurangi Impor, Menperin Dukung Industri Produsen Garam

Husen Miftahudin • 28 April 2016 10:34
medcom.id, Jakarta: Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan kebutuhan garam industri pangan terus dipenuhi produksi dalam negeri. Ini penting, sebab menurutnya industri pangan olahan memberi manfaat dalam penyerapan tenaga kerja, menciptakan nilai tambah, dan bernilai ekspor tinggi.
 
"Produksi garam ini sejalan dengan program pemenuhan kebutuhan bahan baku industri nasional. Kemenperin dorong produksi industri garam dalam negeri agar ketergantungan berkurang dan kontinuitas produksi lebih terjamin," ujar Saleh dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (28/4/2016).
 
Industri pengolahan makanan dan minuman merupakan salah satu industri yang membutuhkan garam selain industri kertas, kaca, kimia, farmasi hingga pengeboran minyak. Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan garam nasional diperkirakan sekitar 2,6 juta ton dan sektor industri yang paling banyak menggunakan garam adalah industri chlor alkali plant (soda kostik), aneka pangan dan farmasi.

"Satu hal yang perlu diinformasikan adalah industri membutuhkan garam yang kualifikasinya memang berbeda dengan garam konsumsi. Garam industri mensyaratkan NaCL di atas 97 persen sedangkan garam konsumsi hanya 94 persen," tutur dia.
 
Meski Indonesia memiliki laut luas dan garis pantai yang panjang, namun secara alami garam yang dihasilkan tidak memenuhi kebutuhan garam industri. Hanya daerah tertentu saja yang punya potensi mampu menghasilkan garam dengan NaCL di atas 97 persen dan ini faktor alam.
 
"Begitu juga dengan negara lain. Jadi perlu dipahami, tidak semua daerah atau negara yang memiliki wilayah laut luas bisa menghasilkan garam industri," jelas Saleh.
 
Apalagi, kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada NaCl yang tinggi tersebut. Demi keamanan produk pangan, industri membutuhkan batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan.
 
Sedangkan untuk industri chlor alkali plan (soda kostik) menetapkan ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah, sementara itu garam untnk industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9-100 persen.
 
Saleh juga menegaskan nilai manfaat dari garam bagi industri pangan. Perhitungannya, dengan merujuk data 2013, total impor garam industri untuk industri makanan minuman hanya sekitar USD17 juta namun nilai ekspor produk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku garam mencapai USD4,83 miliar, belum termasuk produk PVC dan kertas.
 
"Artinya, nilai tambah yang dihasilkan dari importasi itu berlipat-lipat. Jangan lupa juga, rentetannya adalah aktivitas produksi terus berjalan, investasi masuk dan tenaga kerja terserap," tegas Saleh.
 
Data Kemenperin menunjukkan, pada 2015 kebutuhan garam mencapai 3,73 juta ton. Dari angka itu, garam konsumsi atau yang lazimnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, memasak dan lain-lain hanya 783,78 ribu ton.
 
Sedangkan yang 2,95 juta ton merupakan garam industri. Rinciannya industri aneka pangan menyerap 400-450 ribu ton, pengasinan ikan 575.364 ribu ton, industri CAP dan farmasi 1.975.000 ton sedangkan industri non CAP (perminyakan, kulit, tekstil, sabun, dan lain-lain) 275 ribu ton.
 
Sementara itu, produksi garam di Indonesia hanya 1,8 juta ton yang seluruhnya merupakan garam konsumsi dan bukan garam industri. "Karena itulah, industri pengolahan garam ini memang patut disebut efektif memberi nilai tambah dan mengurangi impor. Kita harapkan langkah ini diikuti perusahaan pengolahan garam lainnya guna memperkuat struktur industri nasional," pungkas Saleh.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan