Ilustrasi -- ANTARA FOTO/Wahyu Putro
Ilustrasi -- ANTARA FOTO/Wahyu Putro

Miliki Bank Besar Jadi Kewajiban untuk RI, Kenapa?

Suci Sedya Utami • 04 April 2015 13:16
medcom.id, Jakarta: Memiliki bank besar dengan cara merger, hingga kini nampaknya hanya menjadi wacana. Berkali-kali dilempar wacana bank BUMN A dan B akan dimergerkan, namun hal itu tidak kunjung terealisasi. Lantas, perlu kah Indonesia memiliki sebuah bank besar?
 
Jawabannya perlu. Demikian dikatakan Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti. Menurutnya, untuk memperkuat posisi perbankan Indonesia baik seara domestik maupun regional (ASEAN), Indonesia wajib membunyai sebuah bank dengan size yang besar. Apalagi, nanti akan ada pasar bebas era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), meski untuk sektor perbankan (Asian Banking) baru dimulai pada 2020.
 
"Konsolidasi perbankan itu sesuatu yang harus kita pikirkan. Masa lima tahun itu enggak lama, di mana ke depan akan menghadapi sektor keuangan yang beda. Jangan sampai kita kelimpungan di satu tahun terakhir," kata Destry, seperti diberitakan Sabtu (4/4/2015).

Destry menyebutkan, posisi perbankan Indonesia di mata ASEAN berada di peringkat 10. Penggabungan empat bank besar BUMN saja, hanya bisa membawa Indonesia pada peringkat empat. Indonesia kalah jauh dengan perbankan tetangga yang bisa bersatu karena mereka banyak melakukan konsolidasi. Malaysia misalnya, pada 2012 memiliki 35 bank, dan 2013 dipangkas menjadi 28 bank karena adanya konsolidasi, dan itu yang menyebabkan mereka semakin besar.
 
Di sisi lain, memiliki bank besar itu suatu keharusan karena kebutuhan pendanaan (financing) Indonesia yang semakin besar. Dengan adanya bank besar, kemampuan untuk memberikan pinjaman juga semakin besar. Adanya bank besar juga dalam rangka memperdalam pasar keuangan demi menjaga stabilitas sektor keuangan yang nantinya harus menjadi penyangga pertumbuhan sektor riil.
 
"Contoh BNI, Mandiri mau berikan pinjaman ke PLN atau Pertamina, kan size bisnis mereka (PLN, Pertamina) makin lama makin besar. Sementara size bank kita capital makin lama makin lambat, kita pasti kena BMPK (batas minimum pemberian kredit). Tapi kalau kapital kita diperkuat kita bisa berikan lebih," ujarnya.
 
Lebih lanjut, kata Destry, Indonesia juga harus lebih besar lagi menjajaki pasar negara tetangga, dengan adanya resiprokal bank harusnya menjadi jalur yang memudahkan bank-bank Indonesia membuka cabang di Singapura misalnya. Tentunya dengan apply field level (level penerapan lapangan) yang sama. Nah inilah yang menjadi tugas regulator, baik Bank Indonesia maupun OJK untuk bisa melakukan lobi-lobi dengan negara lain.
 
"Misal Singapura mau buka cabang di Indonesia di mana modal minimalnya Rp500 miliar, Indonesia ketika mau buka di sana sekitar Rp3 triliun. Ya itu enggak fair, karena sebenarnya untuk Indonesia, di Singapura market share-nya tidak sebesar ketika Singapura masuk ke Indonesia, jadi harus ada toleransi," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan