Sebelumnya, perekonomian dunia mengalami ketidakpastian yang salah satunya dipicu oleh tidak jelasnya rencana The Fed yang akan menaikkan Fed Fund Rate (FFR). Hal itu membuat dolar Amerika Serikat (USD) menguat dan menekan sejumlah mata uang di dunia termasuk nilai tukar rupiah. Dampak pelemahan rupiah ini pun memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tidak hanya itu, perlambatan ekonomi Tiongkok dan upaya devaluasi yuan sedikit banyak memengaruhi kinerja ekspor Tanah Air. Ancaman membengkaknya defisit transaksi berjalan akibat tidak seimbangnya kinerja ekspor dan impor pun terus menghantui. Ini akhirnya memunculkan sentimen negatif bagi pasar keuangan.
Sejalan dengan perlambatan ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi di dalam negeri pada 2015 juga tidak terlalu cepat melakukan take off. Berbagai macam benturan yang datang dari ekonomi dunia dan lemahnya kinerja ekonomi dalam negeri suka tidak suka membuat rapor ekonomi Indonesia kian sulit menghijau.
Untungnya, pada kuartal III-2015 arah perbaikan pertumbuhan mulai terlihat setelah Darmin Nasution diajak bergabung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menempati posisi strategis dalam Kabinet Kerja yakni sebagai Menteri Koodinator bidang Perekonomian menggantikan Sofyan Djalil yang dipindahtugaskan sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Gebrakan pun dimulai ketika pemerintah meluncurkan sejumlah paket kebijakan ekonomi. Tidak main-main, pemerintah telah meluncurkan delapan paket kebijakan ekonomi di periode September-Desember 2015. Tidak ditampik, beberapa indikator ekonomi domestik mulai terpantau bergerak positif, walau tidak dipungkiri memang harus dipacu lebih keras lagi agar lebih baik.
Mulai positifnya pergerakan indikator ekonomi terlihat dari tekanan nilai tukar rupiah terhadap USD mulai mereda, tingkat inflasi yang terjaga dan berada dalam kisaran target pemerintah dan Bank Indonesia (BI), tingkat defisit transaksi berjalan yang terpantau menyempit, dan utang luar negeri menunjukkan pertumbuhan yang melambat.
Sementara itu, sejalan dengan pergerakan ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia, kegiatan intermediasi industri perbankan masih terpantau melambat. Namun, perlambatan di 2015 ini sudah lebih landai dibandingkan pada tahun lalu. Meski demikian, perbankan harus terus memacu mesin utama guna melawan waktu agar tidak tertelan oleh gempuran persoalan ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia.
Hal semacam itu penting dilakukan agar perbankan bisa terus bergerak maju dan juga mampu meningkatkan daya saing, mengingat sebentar lagi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diberlakukan. Tentu persaingan akan semakin mengetat di era itu dan perbankan dalam negeri harus menyiapkan berbagai macam amunisi untuk menghadapinya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit perbankan per November 2015 tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 9,8 persen secara year-on-year (yoy) di mana kredit rupiah naik 11,0 persen yoy dan valuta asing (valas) naik 4,2 persen yoy. Sedangkan Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan sebesar 7,7 persen yoy.
Sementara itu, per November 2015, Capital Adequacy Ratio (CAR) atau struktur permodalan perbankan Indonesia masih dalam kondisi sehat dengan berada pada level 21,35 persen atau jauh di atas ketentuan minimum yang telah ditentukan regulator terkait yaitu di angka delapan persen.
Meski berbagai macam persoalan memiliki dampak terhadap kinerja perbankan, bahkan ada yang mengatakan likuiditas perbankan di 2014 hingga 2015 akan mengering namun hal itu tidak terlalu terlihat di perbankan Tanah Air. Kebijakan regulator terkait tampaknya mampu membuat dana cadangan perbankan sebagai bantalan aman ketika likuiditas mengetat.
Likuiditas di sektor perbankan masih terjaga, tercermin dari alat likuid yang cukup memadai untuk mengantisipasi potensi penarikan dana pihak ketiga. Pada 21 Desember 2015, rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) dan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tercatat masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 76,01 persen dan 15,99 persen.
Kredit bermasalah di perbankan (Non Performing Loan/NPL) terjaga pada level yang relatif rendah, yaitu 2,66 persen gross dan 1,22 per net per November 2015. Sedangkan perusahaan pembiayaan mencatat Non Performing Financing (NPF) juga terjaga pada level yang rendah, yaitu 1,43 persen.
Bisa dikatakan, di tengah kondisi perlambatan ekonomi, level NPL dan NPF tersebut masih terjaga jauh di atas threshold atau di angka lima persen. Ini menandakan tingkat kesehatan masih terjaga dan tingkat risiko masih terukur.
Sepanjang 2015 ini, peta perbankan Indonesia memang cukup rumit. Berbagai macam kebijakan telah dikeluarkan dan berbagai aksi dilakukan agar masing-masing bank di dalam negeri tidak tenggelam akibat perlambatan ekonomi. Bahkan, berbagai macam cerita dan peristiwa telah terjadi di industri perbankan Indonesia di 2015.
Pada Februari 2015, BI menurunkan suku bunga acuan atau memangkas sebanyak 25 basis poin dari angka 7,75 persen ke level 7,50 persen. Level ini terus bertahan hingga Desember 2015. Sedangkan di Maret 2015, OJK meluncurkan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangna Inkulsif (Laku Pandai). Laku Pandai diluncurkan guna memperluas jangkauan perbankan di seluruh wilayah di Indonesia.
Lalu pada Mei 2015, OJK meluncurkan program Jaring untuk meningkatkan pembiayaan ke sektor kelautan dan perikanan. Pada Juni 2015, BI melonggarkan kebijakan Loan to Value (LTV) untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Sedangkan Juli 2015, BI kembali melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM).
Sementara itu, pada Agustus 2015, BI mengubah batas nilai maksimum pembelian valuta asing (valas) melalui transaksi spot yang dilakukan tanpa keperluan tertentu (underlying), dari sebelumnya USD100 ribu per bulan per nasabah menjadi sebesar USD25 ribu. Artinya, pembelian valas di atas USD25 ribu diwajibkan memiliki underlying transaksi berupa seluruh kegiatan perdagangan.
Di bulan yang sama, Agustus 2015, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyepakati sinergi pembayaran tol melalui kerja sama antara Jasa Marga, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN untuk mengimplementasikan sinergi pembayaran jalan tol.
Pada September 2015, OJK bersama industri perbankan mengembangkan produk tabungan yang diberi nama Simpanan Pelajar (Simpel), yang merupakan salah satu upaya membangkitkan kembali budaya menabung sejak dini bagi pelajar.
Pada bulan yang sama, tiga bank milik negara yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI menandatangani kesepakatan pinjaman senilai USD3 miliar dengan China Development Bank (CDB). Pinjaman ini nantinya akan digunakan untuk pembiayaan infrastruktur di Tanah Air.
Sementara itu, di Oktober 2015, PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) resmi mengubah nama menjadi PT Bank Maybank Indonesia Tbk. Perubahan nama ini setelah diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
Pada November 2015, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menurunkan GWM Primer dalam bentuk rupiah, dari sebelumnya delapan persen menjadi 7,5 persen, berlaku efektif sejak 1 Desember 2015. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan likuiditas perbankan.
Lalu pada Desember 2015, RUPSLB Bank Mandiri memutuskan untuk mengangkat Wimboh Santoso sebagai komisaris utama menggantikan Darmin Nasution yang telah mendapat penugasan baru sebagai Menko Perekonomian. Sedangkan pada 22 Desember 2015, bank-bank BUMN secara resmi meluncurkan mesin ATM yang diberi nama Link ATM Himbara sebanyak 50 unit yang tersebar di seluru wilayah ibu kota dan sekitarnya.
Memasuki 2016, lembaga yang dinakhodai Muliaman D Hadad ini cukup optimistis perkembangan dan pertumbuhan perbankan akan tetap positif. Berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disampaikan kepada OJK pada akhir November 2015, bisa diperkirakan kredit sebesar ±14,1 persen dan DPK tumbuh 12,7 persen.
"Proyeksi ini sejalan dengan OJK Outlook yang pernah kami sampaikan sebelumnya bahwa kredit diperkirakan akan tumbuh sebesar 12-14 persen dan DPK tumbuh 13-15 persen," kata Muliaman.
Dalam titik ini, OJK masih melihat ada ruang pelonggaran kebijakan pada aspek-aspek tertentu guna mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan. Terlebih kinerja keuangan dan profil risiko lembaga jasa keuangan domestik berada dalam kondisi memadai, didukung permodalan yang kuat, kecukupan likuiditas, dan tingkat NPL yang terjaga.
Pertumbuhan dan perbaikan kinerja lembaga Jasa Keuangan ke depan akan lebih banyak bertumpu pada kapasitas domestik dibandingkan dorongan dari eksternal. Indikator yang kuat merupakan modal berharga dalam upaya mendorong pertumbuhan domestik secara berkesinambungan, sehingga lembaga jasa keuangan dapat berkontribusi secara optimal dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News