"InsyaAllah profitnya di 2019 positif lah angkanya belum kita sebut karena masih dua bulan lagi menjelang tutup tahun," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta Tuhiyat dalam kelas Fellowship MRT Jakarta di Gedung Wisma Nusantara, Jakarta, Jumat 22 November 2019.
Menurutnya, penyumbang terbesar pendapatan kereta Ratangga ini berasal dari iklan, jual hak nama (naming right) stasiun, jaringan komunikasi hingga penyewaan ruang komersial atau retail.
Dari komponen pendapatan non farebox, naming right tercatat menyumbang pendapatan tertinggi. Di antaranya hak nama Grab di Stasiun Lebak Bulus seharga Rp33 miliar per tahun.
Sementara itu, hak nama Stasiun Dukuh Atas BNI, Setiabudi Astra, Istora Mandiri, dan Blok M BCA berada di bawah Rp30 miliar. Perseroan pun berencana menggenjot pendapatan dari naming right yang belum dijual seperti Benhil dan Bundaran HI.
Di sisi lain, potensi pendapatan dari iklan sebesar Rp124 miliar per tahun, retail Rp3,1 miliar per tahun dan UMKM hanya berkontribusi satu persen ke pendapatan.
“Alhamdulillah dengan pendapatan non-farebox ini masih menutupi, tentunya kita juga melakukan efisiensi di internal,” beber dia.
Adapun pendapatan farebox atau dari tiket penumpang baru mencapai Rp180 miliar. Angka ini diperoleh dari 90.000 penumpang per hari. Namun, pendapatan tersebut masih disubsidi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp560 miliar atau setara Rp22 ribu per penumpang untuk satu kali perjalanan.
Karena itu, MRT mempercepat pengembangan lima kawasan Transit Oriented Development (TOD) atau kawasan berorientasi transit (KBT) demi mencari sumber pendapatan baru. Pasalnya nilai properti di lima kawasan itu ditaksir mencapai Rp242 triliun.
Tuhiyat menambahkan pembangunan kawasan TOD tinggal menunggu peraturan gubernur DKI terkait Panduan Rancang Kota (PRK) pada akhir 2019. "Butuh waktu 3-4 tahun. Akhir tahun Pergubnya keluar," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News