Hal ini sejalan dengan digelarnya beberapa sidang perkara atas dugaan monopoli dan kartel. Namun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak sejumlah pasal yang diusulkan jajaran pejabat KPPU dalam draf revisi UU tersebut.
Dalam klausulnya, KPPU mengusulkan agar lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk dapat menggeledah, menyadap, menyita, memeriksa di tempat dan menjatuhkan hukuman pidana bagi seseorang yang dinilai menghalang-halangi pemeriksaan atas dugaan persaingan usaha yang tidak sehat.
Jika usul ini dikabulkan, KPPU akan menjadi lembaga superbody atau badan yang memiliki kewenangan tak terbatas.
"Tidak bisa dalam 1 lembaga terdapat kewenangan berlebihan karena mereka berhak menjadi pelapor, pemeriksa, penuntut hingga hakim. Apalagi ditambah dengan memeriksa, menyita, menggeledah, dan menyadap," ujar Ketua Tim Ahli Apindo Sutrisno Iwantono, dalam siaran persnya, Jumat 4 Agustus 2017.
Sutrisno pun mengusulkan agar kewenangan dalam memutuskan perkara dikembalikan pada mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, yakni lembaga peradilan.
Sebagai opsi kedua, KPPU dibentuk menjadi lembaga yang bersifat administratif. Di mana peradilan untuk perkara melalui mekanisme yang terdapat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Ini untuk menghindari adanya kepentingan," tutur Sutrisno.
Pengawas Etik
Selain kewenangan, Apindo juga menilai perlu adanya kode etik dan dewan pengawas KPPU yang merupakan lembaga terpisah dan bukan bersifat ad hoc. Hal ini dibutuhkan untuk mengawasi agar jajaran KPPU tidak terjadi abuse of power atau kewenangan yang begitu besar oleh KPPU.
Sutrisno pun juga mengkritisi salah satu klausul pembahasan RUU lantaran terdapat beberapa pasal yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini akan ditentukan oleh KPPU. Menurut Sutrisno, peraturan seharusnya tak diatur sendiri oleh KPPU karena akan memberikan kewenangan berlebih hak monopoli tafsir atas UU kepada KPPU.
"Kalau disetujui, mereka sudah terlalu berlebihan," pungkas Sutrisno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News