Sebenarnya, Indonesia sempat mengalami masa keemasan saat pertumbuhan ekonomi disokong dunia industri pada 1990-an. Saat itu, industri dalam negeri tumbuh dua kali lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB). Industri waktu itu tumbuh 12 persen, PDB hanya di kisaran 6 persen, sementara di saat bersamaan ekspor menjulang dengan tumbuh sekitar 22 persen.
Era reformasi di 1998 menjadi titik paling rendah untuk pertumbuhan industri. Masa pemerintahan setelah lengsernya Soeharto mencoba untuk menggenjot kembali sektor manufaktur dan industri. Namun, komitmen membangun kembali kejayaan industri patah akibat harga komoditas yang melambung tajam. Saat itu, banyak kalangan yang mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap sektor industri.
Founder sekaligus Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengaku bahwa booming komoditas pada 2009 sebenarnya membuat Indonesia diuntungkan. Namun, lonjakan harga batu bara dan komoditas tambang lain serta kelapa sawit dan komoditas perkebunan lainnya justru membuat Indonesia terlena.
Pemerintah Indonesia dirasa tak kunjung memperbaiki struktur fundamental ekonomi kala itu. Minimnya infrastruktur serta rumitnya regulasi dan birokrasi membuat pelaku usaha harus menanggung ekonomi biaya tinggi. Akibatnya, produk Indonesia tak memiliki daya saing sehingga produk asing mudah menyerbu pasar Indonesia. Imbasnya lagi, defisit neraca perdagangan kian melebar.
Peran industri kian lemah pada saat itu. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pertumbuhan industri sejak 2012 hingga 2015 terus mengalami kemerosotan. Pada 2012, realisasi pertumbuhan industri nasional hanya sebesar 6,40 persen atau turun ketimbang tahun sebelumnya sebesar 6,74 persen. Tahun-tahun berikutnya lebih menyedihkan lagi, karena di 2013 realisasi pertumbuhan industri hanya 6,10 persen, di 2014 sebesar 5,61 persen dan di 2015 sebesar 5,04 persen.
Berbeda dengan peran industri terhadap PDB nasional. Kemenperin mencatat pada 2012 peran industri sempat turun di posisi 17,99 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar 18,13 persen. Meski tren penurunan kembali berulang di 2013 dengan peran sebesar 17,72 persen, namun pada 2014 dan 2015 menguat dengan posisi peran masing-masing 17,89 persen dan 18,18 persen.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto sebenarnya optimis dengan pertumbuhan industri nasional. Potensi yang masih besar dinilainya cukup untuk menggedor peran industri bagi pertumbuhan ekonomi. Bahkan dia yakin, pertumbuhan industri nasional untuk tahun ini capai sebesar 5,2 persen dan tahun depan dia menargetkan industri tumbuh sebanyak 5,4 persen.
"Saat ini, saya diamanahkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kembali kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Indonesia. Namun, harapan ini perlu membutuhkan komitmen kuat mulai dari stakeholders di hulu sampai hilir, pembuat kebijakan, hingga para pelaku industri," tegas Airlangga.
Keyakinannya ini didorong dengan berbagai upaya dan kebijakan pemerintah yang telah dan akan dilakukan. Antara lain menciptakan iklim usaha yang kondusif, melakukan deregulasi, menerbitkan paket kebijakan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan penurunan harga gas industri.
Bahkan, di dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang memuat visi dan misi serta strategi pembangunan industri, pemerintah memiliki beberapa sasaran kuantitatif pembangunan industri secara gradual hingga 2035. Sasaran itu antara lain pertumbuhan sektor industri sebesar 10,5 persen, kontribusi industri terhadap PDB sebesar 30 persen, serta kontribusi ekspor produk industri terhadap total ekspor sebesar 78,4 persen atau meningkat dari posisi 2015 yang mencapai 70 persen.
Untuk merealisasikan mimpi dan harapan pemerintah terhadap sektor industri Tanah Air bukan dengan sim salabim, melainkan dengan upaya dan langkah yang dilakukan oleh Kemenperin. Ada tiga langkah strategis. Pertama, periode 2015-2019 akan difokuskan untuk meningkatkan nilai tambah dan mengoptimalkan sumber daya alam yang berlimpah di dalam negeri melalui hilirisasi industri dengan arah pada industri hulu berbasis agro, mineral dan migas, yang diikuti dengan pembangunan industri pendukung dan andalan secara selektif.
Tahap kedua, pada kurun waktu 2020-2024 akan difokuskan untuk menjadi keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan. Upaya ini melalui penguatan struktur industri dan penguasaan teknologi, serta didukung oleh SDM yang berkualitas. Kemudian, tahap ketiga untuk 2025-2035, akan menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh, yang bercirikan struktur industri nasional kuat dan dalam, berdaya saing tinggi di tingkat global, serta berbasis inovasi dan teknologi.
"Program dan kebijakan yang dilakukan itu dalam upaya pengembangan industri prioritas terutama sektor padat karya dan berorientasi ekspor," ungkap Airlangga.
Ada 11 kelompok pembangunan industri yang akan difokuskan, yaitu industri pangan, industri farmasi, kosmetik dan alat kesehatan, industri tekstil, kulit, alas kaki dan aneka, industri alat transportasi, industri elektronika dan telematika (ICT), industri pembangkit energi, industri barang modal, komponen, bahan penolong dan jasa industri, industri hulu agro, industri logam dasar dan bahan galian bukan logam, industri kimia dasar berbasis migas dan batu bara, serta industri kecil dan menengah sektor kerajinan kreatif.
Pelaku industri kini juga tengah diarahkan untuk berbasis digital dalam rangka menyongsong globalisasi dan era industri 4.0. Salah satu program disiapkan adalah e-smart IKM, sebagai upaya untuk memanfaatkan platform digital melalui kerja sama dengan perusahaan startup di Indonesia. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan kapasitas sektor yang mendominasi populasi industri di Indonesia.
Yang juga perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan pembangunan industri dan meningkatkan daya saing di era globalisasi adalah penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) industri terampil dengan kompetensi yang bersaing. Sebagai gambaran, saat ini terdapat sebanyak 15,3 juta orang yang bekerja di sektor industri manufaktur. Namun, mayoritas 95,1 persen berpendidikan SMU dan SMK atau lebih rendah.
Hal tersebut membuat tenaga kerja Indonesia belum mampu menduduki peran strategis di perusahaan industri atau masih sebatas tenaga operasional dan teknis. Melihat hal tersebut, Kemenperin menyusun kebijakan dan program operasional dalam upaya pengembangan SDM industri, di antaranya pelaksanaan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang meliputi penyusunan dan penetapan standar kompetensi tenaga kerja nasional Indonesia (SKKSNI) bidang industri, peningkatan kapasitas dan fasilitasi pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan Tempat Uji Kompetensi (TUK) bidang industri dan Asessor Profesi, serta penyusunan program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.
Selanjutnya, pelaksanaan pelatihan industri berbasis kompetensi yang dikembangkan dengan sistem Three in One (3 in 1), yaitu pelatihan berbasis kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja pada perusahaan industri. Kemudian pemagangan industri yang memperhatikan kesesuaian program studi siswa atau mahasiswa dengan perusahaan industri tempat pemagangan. Selain itu, fasilitasi sertifikasi kompetensi, yang meliputi kerja sama dengan asosiasi industri dan pelaku industri dalam rangka mendorong sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja industri.
"Kami telah melakukan pelatihan berbasis kompetensi kepada sejumlah tenaga kerja industri melalui Pusdiklat dan Balai Diklat Industri. Kami juga mengusulkan kolaborasi sektor pendidik dengan pelaku industri melalui program silver expert atau pemanfaatan tenaga ahli di perusahaan-perusahaan industri yang purna bakti untuk dijadikan tenaga pengajar di SMK," klaim Airlangga.
Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menggenjot sektor industri untuk pertumbuhan ekonomi. Memandang paparan ekonom Ginandjar Kartasasmita yang menyebut bahwa bila ingin fundamental ekonomi tangguh, maka sektor industri harus menjadi penyangga dengan pertumbuhan di atas PDB nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 dan 2018 ditarget masing-masing sebesar 5,2 persen dan 7 persen, maka pertumbuhan industri harus mampu di atas 10 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News