Hal ini langsung menimbulkan reaksi keras di dalam negeri. Pasalnya, mobil Esemka yang dahulu digadang-gadang Jokowi sewaktu menjabat sebagai Wali Kota Solo, lebih cocok dikembangkan dan menggandeng negara automotif yang lebih besar seperti Jepang, Korea, atau Amerika.
Namun, pemerintah telah menyangkal adanya kerja sama dengan Proton untuk mengembangkan industri mobil nasional di Indonesia. Pemerintah berkilah, perjanjian kerja sama tersebut dilakukan secara bisnis, bukan antara swasta (Proton) dengan pemerintah Indonesia atau bussiness to government (b to g).
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, mengungkapkan, Proton sebenarnya memang telah terdaftar di BKPM. Namun, terdaftarnya perusahaan asal Malaysia tersebut bukan sebagai manufacturing.
"Proton tercatat di BKPM mendaftar sebagai distributor, bukan sebagai manufacturing. Boleh dikatakan sekarang (Proton) masih berdagang (di Indonesia), belum industri," ungkap Franky, saat ditemui di kantornya, Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 44, Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015).
Soal pengembangan mobil nasional, lanjut dia, harus realistis. Bukan hanya sekadar merek, sebut dia, namun juga kepemilikan keseluruhan harus dipegang dan diawasi oleh pemerintah. Selain itu, papar Franky, komponen lokalnya harus mendekati 100 persen.
"Yang pasti mobilnya Low Cost Green Car (LCGC) alias mobil murah ramah lingkungan. Komponen lokalnya mendekati 100 persen dan bahkan desainnya harus dibuat oleh orang indonesia. Itu bisa disebut mobil nasional," tegas dia.
Soal investasi Proton ke Indonesia, Franky mengakui belum ada pengajuan ke BKPM. Bahkan pembicaraan investasinya pun belum dilakukan oleh perusahaan automotif Malaysia tersebut.
"Pengajuan belum. Pembicaraan dengan BKPM juga belum ada," tutup Franky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News